Puasa dan Penyucian Jiwa

oleh -
Ilustrasi Ramadhan. (PIXABAY)

Puasa adalah ibadah tertua jika dibandingkan dengan ibadah-ibadah lainnya seperti shalat, zakat, haji, dan sebagainya. Karena perintah untuk melakukan ibadah puasa telah diwajibkan oleh Allah Swt kepada para Nabi sebelum Nabi Muhammad Saw.

Tujuan dari pelaksanaan ibadah puasa tersebut adalah untuk menjadikan orang yang melaksanakannya sebagai orang yang bertakwa.

Puasa  dapat membongkar ego kemanusiaan, sehingga dapat merasakan bagaimana lapar dan haus itu, di sisi lain bagaimana kita dapat mencapai penyucian jiwa melalui dialog batiniah.

Puasa merupakan satu sarana yang sangat tepat untuk melakukan dialog batin.

Dengan proses dialog batiniah, hakikat puasa merupakan latihan kejiwaan (riyadlah al-nafsiyah) manusia yang menggiring kepada kesadaran fitrah. Tanpa dialog batin tersebut, mustahil penyucian diri akan terwujud dengan baik. Sebab, hal ini merupakan dialog yang terjadi dalam diri seseorang ketika melakukan ritualitas keagamaan, khususnya ibadah puasa.

Allah Swt berfirman  “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. asy-Syams: 9-10).

Pasca  puasa, diharapkan orang yang melaksanakannya akan memiliki potensi agar dapat kembali kefitrahnya dan menambah rasa keimanannya kepada Allah Swt.

Bahkan yang paling dicari-cari adalah predikat takwa sebagaimana yang telah ditegaskan Allah Swt, di mana orang yang melaksanakan puasa tersebut dengan benar sesuai dengan tuntunan Allah Swt dan Rasul-Nya, maka akan menjadi orang yang takwa.

Dialog batin merupakan sarana yang paling monumental sebagai proses penyucian diri (tazkiyah al-nafs) bagi kaum muslim. Karena untuk meraih potensi kejiwaan (nafsiyah) hanya dapat didekati dengan dialog batin.

Melalui proses dialog batin yang terjadi pada diri manusia akan terkonstruksi suatu kesadaran diri sebagai manusia atau hamba yang mengemban amanah dan tanggung jawab, kemampuan memilih, kepekaan hati nurani, keluasan pandangan, dan memiliki kekayaan pengalaman transendental.

Jika kita telusuri bahwa penyebab penyakit jiwa berasal dari hati, karena hati merupakan otoritas kehidupan manusia, sementara itu hati merupakan motor atau penggerak tindakan dan perbuatan manusia. Dari hati nurani timbul suara kebenaran dan kebaikan, dan dari lubuk hati pula muncul bisikan-bisikan dan hawa nafsu.

Hati merupakan tempat asal munculnya dua kutub yang saling tarik menarik, antara kejujuran dan kebohongan, antara kebenaran dan kebathilan, antara keadilan dan ketidak adilan.

Dalam kaitan tersebut, Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya dalam diri (tubuh) setiap manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik, seluruh gerak-gerik (perbuatan tubuh) akan baik. Jika ia rusak, seluruh perbuatan (manusia) juga rusak. Ketahuilah bahwa segumpal darah itu adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Proses dialog batin berarti melatih perasaan jiwa supaya terdorong hatinya kepada jalan dan ridha Allah Swt. Sebab ridha merupakan satu bagian dari akhlak seorang muslim kepada Allah Swt. Tuhan yang dicintainya dengan penuh semangat dan rasa kasih sayang.

Dialog batin berarti juga mendorong manusia pada sikap tawadhu’. Sikap mulia ini termotivasi dari kesadaran batin yang bersih. Dalam hal ini Allah Swt berfirman, “Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah diri atau tawadhu’.” (QS. al-Furqan: 63).

Sikap tawadhu’ inilah yang mengangkat derajat manusia di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Sebagaimana Rasulullah saw bersabda, “Tawadhu’, tidak ada yang bertambah bagi seorang hamba keculai ketinggian (derajat). Oleh sebab itu tawadhu’-lah kamu, niscaya Allah akan mengangkat derajatmu. Wallahu a’lam

DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)