PALU – PT Sinar Putra Murni (SPM) dan PT Sinar Waluyo (SW) selaku pemegang Hak Guna Bangunan (HGB) di Kelurahan Tondo akan menggugat sejumlah pihak terkait, atas pemakaian lahan untuk pembangunan Hunian Tetap (Huntap) II Tondo untuk penyintas bencana alam 28 September 2018 silam.
Gugatan tersebut ditujukan kepada pemerintah dalam hal ini Presiden, PUPR, ATR/BPN, Gubernur Sulteng dan Wali Kota Palu serta Bank Dunia.
Salmin Hedar, kuasa hukum PT SPM dan PT SW dari Law Firm Salmin Hedar & Associates (Advocate’s and Legal Consultant’s), menegaskan, pihaknya bukan menggugat pembangunan huntap tersebut, melainkan penggunaan lahan seluas 55,3 ha, tanpa adanya ganti rugi dan pelepasan hak atas tanah dari perseroan selaku pemilik lahan HGB.
“Jadi kami bukan keberatan dibangun huntap, tapi tidak adanya ganti rugi kepada klien kami atas lahan yang dibangunkan huntap itu,” kata Salmin, Sabtu (05/08).
Salmin menjelaskan, pada tanggal 27 Mei 2021, Kakanwil BPN Sulteng, Dr. Ir. Doni Janarto Widiantono, telah menyerahkan lahan seluas kurang lebih 66 hektar kepada Wali Kota Palu Hadianto Rasyid untuk pembangunan Huntap II Tondo.
“Penyerahan lahan itu tanpa didasari pelepasan hak dari PT. SPM dan PT. SW,” ungkapnya.
Padahal, kata dia, sebelumnya PT. SPM dan PT. SW telah melepaskan lahan seluas 30 hektar untuk kepentingan pembangunan huntap sesuai Surat Kesepakatan Pelepasan Hak Atas Tanah tanggal 10 September 2019 antara Djoko Pustoko Onggo Hartono selaku Direktur Utama PT. SPM dan PT. SW dengan Ir. Andry Novijandri selaku Kakanwil BPN Provinsi Sulteng, di hadapan Kepala Kantor Pertanahan Kota Palu (Akta Otentik).
“Namun faktanya, Pemerintah Kota Palu secara sepihak telah menggunakan tanah PT. SPM dan PT. SW seluas 55,3 ha, di luar tanah yang disumbangkan oleh Perseroan (dari total tanah huntap seluas 66,3 Ha), tanpa adanya ganti rugi dan pelepasan hak atas tanah dari perseroan selaku pemilik tanah tersebut,” ujar Salmin.
Artinya, kata dia, status tanah yang digunakan untuk pembangunan Huntap II Tondo seluas 55,3 ha, sampai saat ini belum clean and clear, sebaimana arahan dari Wakil Presiden RI kepada Gubernur Sulteng dan Wali Kota Palu pada saat melakukan kunjungan kerja tanggal 6 Januari 2022, termasuk di dalam suratnya kepada Menteri ATR/Ka BPN RI Nomor: B-39 KSN/SWP/TUTK/02/2022 tanggal 25 Februari dan No. B-80/KSN/SWP/88.02.00/03/2022 tanggal 31 Maret 2022.
“Hal ini dikarenakan PT SPM dan PT SW selaku pemegang hak prioritas belum diberikan ganti rugi, sesual Pasal 18 Jo. Pasal 24 PP No. 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum,” terangnya.
Faktanya saat ini, kata dia, di atas tanah seluas 55,3 hektar tersebut, telah dilaksanakan pembangunan huntap oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dengan biaya pinjaman dari Bank Dunia (World Bank).
Pihaknya menduga, Wali Kota Palu dan Kakanwil BPN Provinsi Sulteng tidak memberikan informasi kepada Bank Dunia terkait adanya kesepakatan sumbangan lahan seluas 30 hektar dari PT SPM dan PT SW.
Bahkan, kata dia, Wali Kota Palu justru memberikan jaminan kepada Bank Dunia bahwa status tanah Huntap II telah clean and clear, sehingga Bank Dunia tetap mengalirkan biaya pinjaman untuk pembangunan huntap.
Menurutnya, hal tersebut jelas bertentangan dengan aturan pemberian pinjaman dari Bank Dunia yang mensyaratkan status tanah haruslah clean and clear, sebagaimana diatur dalam Enviromental and Social Standards 5 (E885).
“Kakanwil BPN Provinsi Sulteng dan Wali Kota Palu diduga telah melakukan penyalahgunaan kewenangan atau jabatan yang merugikan perseroan maupun berpotensi merugikan keuangan negara, karena pembayaran pinjaman dari Bank Dunia tersebut nantinya akan dibebankan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),” kata Salmin.
Menurutnya, pembangunan Huntap II yang didasarkan pada tindakan keliru dari Wall Kota Palu tersebut, telah berimbas pada terjadinya dugaan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Kementerian PUPR RI selaku instansi yang bertanggung jawab atas pembangunan huntap dan para kontraktor pelaksana pembangunan.
“Tindakan-tindakan yang tidak didasarkan pada kepatuhan hukum tersebut, jelas akan merugikan para penyitas bencana alam selaku penerima huntap, mengingat tidak adanya kepastian hukum terhadap alas hak atau bukti kepemilikan atas tanah tersebut,” imbuhnya.
Sementara itu, Direktur PT, SPM dan PT SW, Abdul Rojak, mengatakan, pernyataan bahwa lahan pembangunan huntap itu telah clean n clear, tidaklah sesuai fakta.
“Karena Kementerian ATR sendiri telah bersurat kepada Kementerian PUPR yang intinya menjelaskan bahwa tanah untuk pembangunan huntap tersebut, pihak perseroan (PT SPM dan PT SW) masih menghendaki adanya ganti rugi sehingga berpotensi dapat digugat,” katanya.
Penanggung Jawab Kegiatan PT SPI dan PT SW, Sahlan Lamporo, mengatakan, dalam akta penyerahan lahan seluas 30 hektar sebelumnya, tercantum kalimat, apabila ada penambahan luasan lahan untuk kepentingan penyintas, maka dilakukan lagi perundingan.
“Tapi sampai digunakannya lahan seluas 55,3 hektar, tidak ada perundingan yang dilakukan,” katanya.
Sahlan juga menjelaskan, Bank Dunia akan ikut digugat karena bertindak sebagai pemberi pinjaman dana pembangunan huntap, namun tidak memastikan terlebih dahulu apakah lahan tersebut sudah berstatus clean and clear. (RIFAY)