PALU – Gubernur Anwar Hafid menerbitkan dua surat penting. Surat pertama, bernomor 600.2/344/Dis-Perkintan tertanggal 15 Oktober 2025, berisi instruksi penghentian sementara proses penggusuran warga Lingkungan Industri Kecil (LIK) Tondo,–oleh developer PT Intim Abadi Persada, dan undangan kepada developer PT Intim Abadi Persada, untuk mengikuti mediasi penyelesaian konflik agraria dijadwalkan pada Jumat, 24 Oktober 2025 mendatang.
Wakil Gubernur Sulawesi Tengah (Sulteng), Reny A Lamadjido, didampingi Ketua Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Agraria (Satgas PKA) Sulteng, Eva Susanti Bande, mendatangi dan mendengar pengaduan warga LIK, Jumat kemarin, sekaligus menegaskan tidak boleh ada penggusuran.
Dikonfirmasi, Kuasa Hukum PT Intim Abadi Persada, Felicks Manurung mengatakan, sah-sah saja pemerintah menerima pengaduan masyarakat. Namun sebagai pemegang HGB yang sudah diperpanjang, mempertanyakan kapasitas penghuni melapor, apa pemilik atau penyewa dirugikan.
“Karena sepengetahuan kami, tidak pernah memberi izin kepada mereka untuk tinggal, baik dari PT Palu Lembah Nagaya maupun dari PT Intim Abadi Persada,” ujar Feliks di Palu, Sabtu (18/10).
Feliks mengatakan, sejumlah upaya pendekatan telah dilakukan terhadap masyarakat, baik di tingkat kelurahan sebelum maupun sesudah pihaknya mengambil alih. Namun, masyarakat tetap bersikukuh menolak.
“Kami sudah melakukan pendekatan kepada masyarakat, tapi mereka tetap ngotot. Itu sudah dilakukan, bahkan sejak sebelum kami ambil alih,” ujarnya.
Feliks mengatakan, laporan pengaduan masyarakat juga telah mendapat perhatian serius dari satgas Penyelesaian Konflik Agraria bentukan Gubernur Sulawesi tengah (Sulteng).
Namun kata Feliks, menelusuri asal-usul penerbitan lahan juga perlu dilakukan, sebab ada dasar hukum kuat, penerbitan hak atas tanah tersebut.
“Mereka bilang ini tanah Penlok LIK tahun 1989. Tapi pemerintah punya kewenangan memberikan Hak Guna Bangunan (HGB). Tidak semua riwayat lahannya lengkap, tapi secara administratif dan legal sudah diverifikasi melalui Kementerian ATR/BPN di Jakarta,” katanya.
Feliks menegaskan, pihak pengembang memperoleh lahan secara sah melalui proses administratif dan verifikasi resmi.
“Produk pemerintah itu sah sampai ada putusan hukum menyatakan sebaliknya,” ujarnya.
Feliks mengatakan, hasil pertemuan di tingkat kelurahan dan keterangan Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Transmigrasi, tidak ada data menunjukan bahwa masyarakat merupakan peserta transmigrasi.
“Berdasarkan keterangan Kepala UPT, mereka tidak pernah terdaftar sebagai transmigran. Data itu tidak ada,” jelasnya.
Feliks menambahkan, sebagian warga diketahui datang ke lokasi, karena lahan tersebut sudah lama kosong. kawasan tersebut dibangun oleh pihak pengusaha Lembah Palu Nagaya, untuk kebutuhan transit dan pelayanan bagi pekerja
Dalam rapat di tingkat kelurahan, kata Feliks, pihak pengembang juga menawarkan ganti rugi sebesar Rp1 juta untuk biaya pindah, namun tawaran tersebut ditolak warga.
“Mereka menolak. Mereka minta relokasi. Tapi kami tidak punya lahan relokasi, karena kami ini pihak swasta,” Bukan pemerintah,” tegasnya.
Feliks menilai, pemerintah memiliki kewajiban melindungi masyarakat, tetapi pengembang juga berhak atas lahan telah diserahkan negara secara resmi melalui izin HGB.
“Kalau mereka bilang tanah ini tanah negara, itu benar. Kami tidak menyangkal. Tapi HGB memang harus berdiri di atas tanah negara. Kami diberi kewenangan oleh negara untuk mengelola, bukan mereka.
” Kita harus menghargai pemerintah yang mengeluarkan sertifikat itu. Lambangnya saja Garuda. Jadi jangan sampai pemerintah berpihak dengan mengabaikan hukum. Berpihak boleh, tapi harus pada kebenaran,” tandasnya.