PALU – Reaksi penolakan terhadap revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) terus bergulir menjelang pengesahan dalam rapat paripurna di DPR RI.
Di Sulawesi Tengah (Sulteng), berbagai elemen masyarakat sipil turun ke jalan menolak revisi UU TNI melalui Aksi Kamisan ke-63 di Tugu Jam Kota Palu Kamis (20/03) petang.
Mantan Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Palu, Rafiq, sejak awal menyoroti penyusunan RUU TNI yang tak melibatkan partisipasi publik.
Panitia Kerja Revisi UU TNI memilih menggelar rapat tertutup di salah satu hotel mewah di Jakarta di tengah kebijakan pemangkasan anggaran atau efisiensi oleh pemerintah.
Aktivis menggeruduk dan menginterupsi ruang rapat tertutup tetsebut,justru mendapat tindakan intimidasi dari sekuriti hotel hingga dilaporkan ke polisi.
“Penolakan dari masyarakat kian hari kian meluas. Para wakil rakyat di Senayan belum setahun menjabat tetapi sudah memperlihatkan kerja-kerja tidak transparan, mengabaikan partisipasi dan suara publik,” kata Rafiq.
Rafiq memandang kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto seolah ingin mengembalikan dwifungsi militer seperti di masa Orde Baru.
Selain proses serba cepat dan tertutup, bagi Rafiq, revisi UU TNI menjadi jalan menuju militerisasi institusi publik.
Sebelumnya sudah diatur bahwa prajurit aktif hanya dapat mengisi jabatan sipil di sepuluh kementerian dan lembaga.
Kementerian dan lembaga tetsebut meliputi Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Pertahanan Negara, Sekretariat Militer Presiden, Intelijen Negara, hingga Sandi Negara. Selain itu, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, SAR Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.
Dalam revisi UU TNI, pemerintah mengusulkan lima instansi tambahan bisa ditempati oleh prajurit aktif.
Kelima instansi tersebut antara lain Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Keamanan Laut (Bakamla), Kejaksaan Agung, dan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP).
Aturan menempatkan prajurit dalam jabatan sipil dikhawatirkan membuka ruang konflik kepentingan dan impunitas terhadap anggota militer bermasalah.
“RUU TNI bisa melemahkan profesionalisme TNI. Mahasiswa, dosen dan koalisi masyarakat sipil di berbagai daerah sudah bersuara. Artinya dampaknya sangat serius bagi kehidupan jika pemerintah dan DPR mengesahkannya menjadi undang-undang,”kata Rafiq.
Rafiq menambahkan, gagasan RUU TNI jika dibiarkan, memberi ruang luas bagi militer untuk mengintervensi urusan politik dalam negeri dan peningkatan eskalasi pelanggaran HAM.
“Kita seperti meniti jalan kembali ke dwifungsi ABRI telah dihapus usai gerakan reformasi. Padahal jejak militerisme dalam peran sosial politik di masa Orde Baru telah meninggalkan trauma mendalam,” ujarnya.
Reporter :***/IKRAM