PALU- Publik masih menunggu akhir dari kasus dugaan oknum jaksa Arifuddin melakukan barter tuntutan hukum senilai Rp700 juta atas perkara narkoba dengan terdakwa Risaldhy.
Pihak kejaksaan tinggi Sulteng berdalih, perkara narkoba terdakwa Risaldhy ditangani oknum jaksa Arifuddin masih dilakukan eksaminasi apakah menyalahi standar operasional prosedur (SOP).
Peristiwa barter tuntutan hukum inipun memantik keras pegiat anti korupsi dan lembaga swadaya masyarakat, maupun praktisi hukum. Mereka menginginkan kasus ini dibuka ke publik sebagai pertanggungjawaban moral institusi kejaksaan.
Salahsatunya praktisi hukum Elvis DJ Katuwu mengatakan, bila sudah terjadi eksaminasi terhadap perkara ditangani oknum jaksa tersebut yang dilakukan institusi kejaksaan, artinya institusi itu sudah membenarkan adanya perbuatan dilakukan yang bersangkutan.
Ia mengatakan, kalau itu terkait penerimaan suap, uang dari terdakwa, maka ini suatu tindakan suap. Olehnya, publik berharap harus diproses hukum. Bukan hanya sekadar eksaminasi.
“Dan ini juga satu pembelajaran kedepan, agar para mereka melakukan tugas hukum, benar-benar menjadi pegangan untuk tidak melakukan lagi,”kata Elvis di sela-sela menunggu sidang di Pengadilan Negeri Kelas 1 A PHI/Tipikor/Palu, Selasa ( 26/4)..
Ia menambahkan eksaminasi itu hanya bersifat internal, padahal ini berkaitan dengan perbuatan hukum tindak pidana.
Atas perbuatan oknum jaksa Arifuddin tersebut, keluarga terdakwa melalui penasihat hukumnya Riswanto Lasdin pun melayangkan somasi ke pihak Kejati Sulteng sebanyak tiga kali, juga ditembuskan ke kejaksaan Agung pada intinya agar oknum jaksa Arifuddin mengembalikan uang Rp700 juta, dimana menurut pengakuan Oknum Jaksa telah terdistribusi ke pimpinan dan pihak lain.
Tidak hanya sampai somasi, Riswanto Lasdin juga telah melapor ke Polda Sulteng dengan bukti tanda laporan Nomor STTLP/55/III/2022/SPKT/Polda Sulteng, Kamis (24/3) lalu dengan dugaan penipuan dan pemerasan.
Elvis advokat PERADI yang kondang dengan sebutan pengacara sandal jepit 2012 silam itu, melihat serta berpendapat perbuatan oknum jaksa Arifuddin itu lebih pada penyuapan.
“Istilahnya suap negatif, sebab pihak yang meminta oknum jaksa bukan atas kehendak terdakwa. Jadi ada azas alasan pemaafan bagi terdakwa, sebab terpaksa memberi,” ujarnya.
Ia mengatakan, bila dalam keadaan normal pemberi suap dan penerima suap sama-sama terkena sanksi pidana.
“Bila berbicara pasal pemberi suap masuk, tapi hukum itu bukan berbicara pasal tapi bicara azas, logika, teori, phisikologis, sosiologis, filsafat,”ucapnya.
Ia menambahkan, hukum itu bukan undang-undang, undang-undang itu hanya merupakan panduan untuk menentukan suatu perbuatan itu diatur dimana dan tata aturannya bagaimana.
“Untuk mengukur hukumnya maka kita berbicara azas sampai filsafat,” kata Wakil Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan DPC PERADI Palu ini menyudahi.
Terpisah Kasi Penkum Humas Kejati Reza Hidayat Lawali Kamis (21/4) pekan kemarin menyampaikan, kasus perkara ditangani oknum jaksa Arifuddin masih dalam proses eksaminasi dan sementara berjalan, karena ada banyak pihak yang perlu diambil keterangannya.
“Setelah ada hasilnya akan kami sampaikan lebih lanjut,” ujarnya kala itu.
Reporter: IKRAM
Editor: NANANG