PALU- Ketua Forum Kerukunan Umat Beragam (FKUB) Provinsi Sulawesi Tengah menyebut politik Identitas berpotensi menjadi ancaman bagi nasionalisme dan juga kerukunan umat beragama.

“Politik identitas merupakan salah satu strategi mendapatkan suara terbanyak dengan menyalahgunakan persamaan. Baik persamaan kelompok, ras, agama, dan juga daerah asal,” kata Ketua FKUB Sulteng Prof. Zainal Abidin dalam orasi ilmiah pada wisuda sarjana XX Sekolah Tinggi Ilmu Sosial Ilmu Politik (STISIP) Panca Bhakti Palu di Swissbell Hotel Jumat 18 november 2022.

Ia mengatakan, dalam praktik politik identitas, seorang politisi akan memilih identitas yang paling berpotensi merekrut suara sebanyak-banyaknya.

Oleh karena itu, kata dia, kriteria sebuah identitas yang memungkinkan untuk “dijual” dalam kampanye politik setidaknya memenuhi hal berikut, memiliki jumlah anggota komunitas yang banyak dan memiliki daya ikat secara emosional di antara para anggotanya

“Dalam konteks Indonesia, Agama, khususnya Islam, merupakan identitas yang paling layak untuk digunakan dalam politik identitas,” bebernya.

Setidaknya kata dia, karena dua alasan, Umat Islam Indonesia memiliki jumlah yang besar (+86,9% dari total penduduk Indonesia pada tahun 2021) hal itu tentu sangat diperhitungkan oleh para politisi.

“Agama adalah identitas yang paling mudah membangun ikatan emosional antar penganutnya,” kata Ketua Majelis Ulama Indonesia Kota Palu ini.

Berdasarkan dua alasan sederhana di atas, kata dia, maka tidak heran jika politik identitas berbasis agama, terutama Islam, lebih banyak ditemukan dibanding isu etnis maupun jender.

Ia mengatakan, politik identitas pada dasarnya berpotensi menciptakan sekat-sekat antar warga bangsa berdasarkan identitas primordial seperti ras, suku, agama dan jender.

“Hal ini jika dibiarkan tentu akan menjadi ancaman bagi nasionalisme,” sebutnya.

Lebih jauh kata dia, politik identitas yang berbasis pada agama, bukan hanya mengancam semangat nasionalisme tetapi juga dapat menghancurkan bangunan kerukunan umat beragama.

“Kelompok mayoritas akan merasa memiliki hak istimewa dari kelompok lainnya. Dan ini tentu saja bertentangan dengan salah satu pilar kebangsaan kita, Bhinneka tunggal ika,” tuturnya.

Di sisi lain, kata dia, politik identitas berbasis agama justru mencederai kesakralan dan kesucian agama. Betapa tidak, agama “diperalat” untuk kepentingan politik, menciptakan perpecahan dan merusak keharmonisan hidup masyarakat berbangsa dan bernegara.

Hal ini kata dia, sangat kontrakdiksi dengan nilai-nilai ajaran setiap agama, yang semestinya mendorong dan menginspirasi penganutnya mewujudkan perdamaian dan kemaslahatan bersama.

Ia mengatakan, politik identitas, apa pun bentuknya, tidak dapat menciptakan iklim demokrasi yang sehat, serta tidak mendidik masyarakat agar lebih dewasa dalam berpolitik. Demikian pula, politik identitas yang berbasis agama adalah sebuah ancaman nyata bagi kerukunan hidup umat beragama yang sudah berupaya kita bangun bersama sejak berdirinya republik ini.

Oleh karena itu, kata dia, menjadi tugas besar bagi kita bersama, terutama para generasi muda, untuk mendidik masyarakat kita agar lebih cerdas dalam berpolitik, sehingga tidak mudah terjebak oleh mereka yang mencoba memanfaatkan label agama, ras maupun jender hanya untuk memperoleh kekuasaan

“Manfaatkan berbagai persamaan, hal ini digunakan untuk menghimpun berbagai kekuatan untuk meraih tujuannya,” sebutnya.

Ia mengatakan, munculnya ketidakpuasan dalam masyarakat. Hal ini dipicu adanya perlakuan yang berbeda antara masyarakat yang satu dengan lainnya.Timbulnya jalur politik yang terlahir karena adanya suatu hubungan, baik kekeluargaan ataupun pertemanan. Hanya kelompok tertentu saja yang merasa diuntungkan.

“Dan seiring dengan itu lahir anggapan tentang adanya diskriminasi,” katanya mengakhiri.

Reporter: IKRAM
Editor: NANANG