JAKARTA – Guru Besar Hukum Pidana, Universitas Padjajaran (Unpad), Prof Romli Atmasasmita, mengritik penanganan hukum dalam kasus Mardani Maming. Ia menilai adanya sejumlah kekeliruan yang sangat serius.

“Menurut saya, ada delapan kekeliruan yang bisa dikategorikan sebagai kesesatan dalam penerapan hukum,” ungkap Prof Romli, Rabu (10/09).

Prof Romli menilai, proses penuntutan kasus ini dipaksakan dengan penerapan pasal yang kurang tepat.

Ia menjelaskan, penerapan Pasal 12 b Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 oleh Hakim Kasasi dalam perkara Mardani Maming, mestinya tidak hanya menggunakan pendekatan normatif, tetapi juga mempertimbangkan pendekatan wessensschau.

“Maksud pembentukan Pasal 12 b adalah untuk memberikan efek pencegahan agar penyelenggara negara menjalankan tugas sesuai UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, sebelum menerapkan UU Tipikor Tahun 1999/2001,” jelasnya.

Olehnya, kata dia, pola pemikiran sistematis, historis, dan teleologis dalam putusan kasasi perkara Nomor: 3741/2023 atas nama Mardani Maming, tidak dijalankan.

“Putusan tersebut sudah memenuhi alasan adanya novum serta kekhilafan atau kekeliruan nyata dari hakim,” jelasnya.

Sebagai anggota tim penyusun RUU Pemberantasan Korupsi Tahun 1999 dan perubahannya tahun 2001, Romli juga menyoroti kekeliruan dalam Rapat Kerja Hakim MA, khususnya Hakim Tindak Pidana Korupsi.

Menurutnya, terdapat perbedaan tafsir hukum di antara Hakim Agung terkait ketentuan Pasal 14 UU Nomor 31 tahun 1999 dan SE MARI Nomor 07 tahun 2012 dalam Hasil Rumusan Kamar Pidana.

“Pendapat pertama menyatakan bahwa sekalipun modus operandinya terkait peraturan lain, jika unsur pasal tindak pidana korupsi terpenuhi, maka UU Tipikor dapat diterapkan. Pendapat kedua menyebutkan bahwa UU Tipikor hanya diterapkan jika secara tegas dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi. Perbedaan ini belum terselesaikan dan menunggu revisi dari MA,” lanjut Romli.

Berdasarkan masalah ini, ia menyimpulkan bahwa belum ada kepastian hukum terkait penafsiran dan penerapan Pasal 14 UU Nomor 31 tahun 1999.

“Ketiadaan kepastian hukum ini membuat putusan Kasasi MA dalam perkara Nomor 3741/2023 terhadap Mardani Maming tidak adil jika tetap memaksakan penerapan UU Tipikor,” tambahnya.

Selain Prof Romli, Mahrus Ali selaku pengajar Hukum Pidana FH UII, menilai, Maming tidak melanggar Pasal 93 UU Minerba, karena norma pasal tersebut berlaku untuk pemegang IUP, bukan bupati yang mengeluarkan SK.

“Selama syarat peralihan IUP terpenuhi, maka tidak ada masalah dalam peralihan izin,” jelasnya.

Eksaminasi Pakar Hukum

Sebelumnya kritik dari para akademisi tentang kasus ini mencuat setelah adanya bedah buku “Mengungkap Kesalahan dan Kekhilafan Hakim dalam Menangani Perkara Mardani H. Maming, yang diselenggarakan oleh Centre for Leadership and Law Development Studies (CLDS) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia pada Sabtu (04/10) lalu.

Dalam diskusi tersebut, berbagai kekeliruan dalam penanganan kasus mantan Bupati Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan ini diungkap.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof Topo Santoso, menyatakan pentingnya eksaminasi kritis dari para ahli hukum terhadap putusan pengadilan.

“Kekeliruan dalam putusan hakim selalu mungkin terjadi, dan eksaminasi kritis ini penting sebagai pembelajaran bagi para penegak hukum,” kata Prof Topo.

Mardani Maming dijatuhi hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp500 juta atas gratifikasi sebesar Rp118 miliar dari almarhum Henry Soetio, mantan Direktur PT Prolindo Cipta Nusantara.

Kasus ini bermula dari penerbitan Surat Keputusan Pengalihan IUP Operasi Produksi dari PT Bangun Karya Pratama Lestari kepada PT Prolindo Cipta Nusantara pada saat Mardani menjabat sebagai Bupati Tanah Bumbu pada 2010. *