Prof. Lukman Paparkan Peran Penting Alkhairaat Sebagai Panduan Moral di Forum Internasional

oleh -
Rektor UIN Datokarama, Prof. KH. Lukman Thahir menjadi narasumber pada kegiatan International Conference on Cross-Cultural Religious Literacy, yang dilaksanakan oleh Kementerian Luar Negeri kerja sama Institut Leimena, di Jakarta, 10 - 11 Juli 2024. (Foto : Istimewa)

PALU – Kementerian Luar Negeri (LN) bekerja sama dengan Institut Leimena menghadirkan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu, Prof. KH. Lukman Thahir sebagai narasumber di International Conference on Cross-Cultural Religious Literacy.

Prof. Lukman Thahir dihadirkan pada konferensi tersebut, untuk membahas tentang peran organisasi berbasis agama dalam kolaborasi lintas agama untuk mengatasi tantangan global, di Jakarta 10 hingga 11 Juli 2024.

Dihadapan ratusan peserta yang terdiri dari dalam dan luar negeri, Prof. Lukman Thahir diminta oleh penyelenggara kegiatan untuk menyampaikan materi tentang peran Alkhairaat dalam kolaborasi lintas agama untuk menjawab tantangan global.

“Saya diundang di sini untuk membahas peran organisasi berbasis agama dalam kolaborasi lintas agama, untuk mengatasi tantangan global. Undangan ini sangat menantang bagi saya, karena seharusnya pimpinan organisasi keagamaan yang menyampaikannya,” kata Prof. Lukman Thahir, dihubungi dari Kota Palu, Kamis (11/7).

Dalam pemaparannya, Prof. Lukman menyampaikan bahwa para cendekiawan dan pemimpin agama di seluruh dunia sangat mengenal organisasi-organisasi keagamaan di Indonesia, khususnya Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, yang berbasis di Jawa. Bagi pengamat luar, kedua organisasi ini mewakili umat Islam Indonesia.

Meskipun demikian, banyak organisasi Islam di luar Jawa yang sangat berpengaruh dan terlibat dalam kolaborasi antar agama di Indonesia. Organisasi-organisasi ini termasuk Al-Wasiliyah di Sumatera Utara, Darul Dakwah wal-Irsyad di Sulawesi Selatan, Nahdhatul Wathan di Nusa Tenggara Barat, dan Alkhairaat di Sulawesi Tengah.

Alkhairaat didirikan pada tahun 1930, empat tahun setelah NU, dan jauh sebelum kemerdekaan Indonesia.  Pendirinya adalah seorang ulama yang lahir di Tarim, Hadhramaut, Yaman Selatan. Ia dikenal dengan nama Syayid Idrus bin Salim Aljufri. Kantor pusat organisasi ini terletak di Palu, Sulawesi Tengah, dan bergerak di bidang pendidikan, dakwah, dan sosial.

“Dalam eksistensinya, Alkhairat telah memainkan peran penting dalam kolaborasi lintas agama, mempromosikan dialog antar agama, mengadvokasi toleransi, dan berkontribusi pada kohesi sosial yang lebih luas dalam lanskap agama yang beragam di Indonesia,” ungkap Lukman Thahir.

Kata dia, beberapa peran kunci Alkhairaat. Pertama, Alkhairaat sebagai panduan moral dan etika. Alkhairaat sering menekankan prinsip-prinsip seperti keadilan, kasih sayang, dan kepedulian terhadap lingkungan, yang sangat penting dalam mengatasi masalah-masalah seperti kemiskinan, perubahan iklim, dan ketidakadilan sosial.

“Alkhairaat adalah rumah bagi semua agama dan kelompok etnis, dan juga merupakan tempat konsultasi jika ada insiden yang mencederai nilai-nilai martabat manusia. Ketika konflik Poso terjadi, pada tahun 1998, para pemimpin Alkhairat dan pemerintah pusat dan daerah memfasilitasi pertemuan untuk memediasi kelompok-kelompok yang bertikai melalui pertemuan para pemimpin lintas agama, yang menghasilkan Deklarasi Malino, yaitu penandatanganan perjanjian perdamaian pada tanggal 20 Desember 2001,” sebutnya.

Kedua, Alkhairaat memainkan peran keterlibatan masyarakat. Dengan begitu, Alkhairat tertanam kuat di dalam komunitas lokal, menjadikannya efektif dalam memobilisasi dukungan dan aksi akar rumput. Mereka dapat melibatkan individu-individu dari berbagai agama untuk bekerja sama mencapai tujuan bersama, memanfaatkan jaringan dan pengaruh mereka untuk mempromosikan perdamaian, toleransi, dan saling pengertian.

Ketiga, Alkhairaat memainkan peran penyediaan layanan. Di mana, Alkhairat secara aktif terlibat dalam bantuan kemanusiaan, perawatan kesehatan, pendidikan, dan layanan sosial.

Dalam kolaborasi lintas agama, mereka dapat mengumpulkan sumber daya dan keahlian untuk memberikan bantuan secara lebih efektif dalam krisis, menjangkau populasi yang terpinggirkan dan menyediakan layanan penting tanpa memandang afiliasi agama.

“Ketika gempa bumi dan tsunami terjadi, mereka membuka layanan publik untuk para korban gempa dan tsunami tanpa memandang etnis dan agama para korban,” ujarnya.

Keempat, Alkhairaat aktif dalam dialog antar agama dan pembangunan perdamaian. Organisasi ini mempromosikan dialog dan inisiatif bersama, mereka berkontribusi dalam membangun jembatan melintasi kesenjangan agama dan mengurangi ketegangan yang dapat memperburuk konflik global.

“Salah satu contoh Alkhairat sebagai pelopor perdamaian adalah tidak hanya menerima siswa non-Muslim untuk belajar di sekolah madrasah, namun juga menerima guru non-Muslim untuk mengajar di sekolah-sekolah agama dan sekolah umum di wilayah Alkhairat,” ungkap Prof. Lukman Thahir.

Reporter : Nanang IP
Editor : Yamin