PALU – Pegiat Literasi Sulteng Neni Muhidin menyebut salah satu problem masyarakat dalam literasi digital, literasi baca tulis kita belum selesai.
“Makna sederhana literasi adalah cakap. Literasi mengajak kita memahami sesuatu. Kita berada di kecakapan abad 21 literasi digital satu dari literasi dasar, ” kata Pegiat Literasi Sulteng Neni Muhidin dalam sharing season Semarak Festival Media 2022 , di Jodjokodi Convention Center, Jum’at (9/12).
Ia mengatakan, problem belum selesai literasi baca tulis, kita melompat ke literasi digital. Digital Indonesia di ranah global, Indonesia berada diurutan 47 dari 134 negara.
Selanjutnya menurutnya, ada beberapa aspek menjadikan literasi digital Indonesia jauh, dengan Singapura, yakni, galau akses. Indonesia masih terkendala infrastruktur listrik. Sulit berbicara literasi digital, bila infrastruktur listrik belum selesai.
“Di Sulteng belum terkoneksi dengan Internet internet 620 ribu, dengan 3 juta jumlah penduduk Sulteng,” ujarnya.
Selanjut menurutnya, galau literasi atau galau kecakapan. Ada empat hal skill kultur keamanan jadi fokus Kominfo. Lalu galau outcome atau hasilnya. Ada dua hal dari galau hasilnya yang galau demokrasi dan galau status sosial ekonomi.
“Literasi digital akan berjalan bila demokrasi dan status sosial ekonomi kita membaik,” bebernya.
Presenter TvOne Brigita Manohara, mengatakan efek dari komunikasi itu dimulai dari mutual respect (Saling menghargai).
Olehnya kata dia, harus berhati-hati kalau mengepos apapun mau instastory , status WhatsApp, facebook.
“Hati-hati gaes jejak digital,” ucapnya.
Olehnya hati-hati menurutnya, memilih kata kalau berbicara depan umum yang terekam media, pilihan kata tidak tepat menyingung orang, ras atau suku repot sejak penerapan UU ITE, biasanya kasusnya pencemaran nama baik, ujaran kebencian melanggar kesusilaan dan berita bohong.
“Maka cerdaslah bermedia sosial, sebab rekam digital tersimpan selamanya dan hati-hati merepos sesuatu,” pungksnya.
Ketua AMSI Sulteng Moh.Iqbal bagaimana Landscape media syber di Sulteng agar menjadi perhatian bersama.
“Hingga saat ini tetaplah media mainstream menjadi benteng terakhir netizen mendapatkan informasi yang benar,” ujarnya.
Bahkan di media mainstream sekalipun tidak bisa langsung kita percaya sebab belakangan sudah terbagi dua.
Ada Media mainstream menyajikan berita dan ada media mainstream menjadikan konten. Ini dua hal berbeda.
Artinya arti media syber semakin meluas. Jurnalis sebagai ujung tombak di lapangan harus mencari informasi yang benar. Sebab sebagian besar dari kita belum bisa membedakan mana informasi dan mana berita.
Reporter: IKRAM/Editor: NANANG