OLEH : Jeki Amir***
ARAH perubahan kehidupan masyarakat modern yang tidak dapat lepas dari kemajuan teknologi ditentukan oleh mereka yang paling dan atau relatif dominan dalam mengeksploitasi sisi kemanusiaan kita yang cenderung sulit mencapai titik kepuasan.
Perkembangan teknologi dalam beragam pengelompokannya, baik yang terdorong oleh hasrat keingintahuan dan spirit humanisme, maupun yang didorong oleh gairah harta dan pujian, adalah kenyataan yang tidak dapat dilawan dan dihindari, karena masyarakat (dengan keinginan sendiri atau terpaksa) telah menjadikan teknologi sebagai syarat bagi penciptaan setiap karya dan percepatan aksi di segala bidang kehidupan duniawi.
Beriringan dengan itu, persaingan dalam kemajuan duniawi menuntut tumbuhnya pembudayaan dan pelestarian efisiensi dan efektifitas kerja dalam diri setiap individu, negara, dan bangsa. Selain itu, yang tidak boleh dilupakan dari realitas ini adalah perwujudan kreativitas tanpa henti demi menghindari ketertinggalan laju zaman.
Bagi umat Islam yang meyakini adanya keabadian kehidupan akhirat, baik di alam penebusan dosa maupun di alam imbalan atas ketaatan, sangat mungkin mengalami nirambisi dalam melakoni dan menahkodai drama perlintasan batas-batas ragam zaman.
Hal ini dikarenakan adanya potensi pengabaian prestasi duniawi yang berakar dari keyakinan bahwa kehidupan duniawi hanyalah serangkaian siklus budaya dan aktifitas nirmanfaat. Pada akhirnya, tidak jarang (dalam arti tidak semua) umat mengalami kesurutan karsa cipta karya duniawi seiring dengan menguatnya daya dan semangat menumpuk bekal kehidupan ukhrawinya.
Dapat kita temui dikalangan umat Islam, khususnya Indonesia yang memutuskan berhenti dari profesi keduniawiannya dengan alasan memilih fokus dalam beribadah, meskipun profesi yang dilakoni sebelumnya bukan merupakan profesi yang bertentangan dengan syariat dan aqidah Islamiyah.
Dengan alasan yang sama, tidak sedikitpula hamba Allah yang tetap menjalankan profesinya, namun berkarya secara biasa-biasa saja, asalkan telah bekerja dan memperoleh rezeki yang halal untuk kebutuhan primer, sekunder, serta tersiernya.
Berlawanan dengan umat yang hidupnya terorientasi pada prestasi-prestasi duniawi, baik berupa limpahan kekayaan dan nama besar, namun mampu menumbuhkan dan menyuburkan temuan dan karya duniawi yang sedikit banyak dapat menjadi penopang kehidupan modern.
Hal ini menjadi indikasi gejala tumbuhnya penegasian antara aktifitas duniawi dengan perkara ukhrawi pada sebagian penganut agama Islam.
Jika pengabaian pada pencapaian prestasi duniawi tersebut terus tumbuh dan tersebar dikalangan muslimin dan muslimat, maka tentunya dapat menjadi ancaman bagi negara berpenduduk muslim dan atau mayoritas muslim, terutama Indonesia, sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia.
Sebab, kelemahan dan atau pelemahan dalam penguasaan dan kreatifitas dalam pemanfaatan teknologi yang sedikit banyak bertalian dengan ekonomi, politik, sosial dan pertahanan nasional, dapat mengubah sebuah negara bangsa besar (dari segi kewilayahan dan kuantitas sumber daya manusianya) menjadi “potongan-potongan roti empuk” di hadapan negara bangsa kecil dan besar lainnya, namun unggul di segala bidang pengisi kehidupan duniawi, apa lagi jika keduanya ditopang oleh keserakahan bangunan batinnya.
Menghadapi ancaman semacam itu, masyarakat muslim, khususnya Indonesia, kiranya memerlukan pijakan berfikir konstruktif untuk dapat mengakomodir gairah pencapaian prestasi duniawi dan visi ukhrawi dalam satu tarikan napas, selama menjalani dan menghadapi dinamika kehidupan.
Dalam hal ini, pemahaman tentang ilmu, yang pada hakikatnya merupakan pedoman bagi segala penciptaan karya dan aktifitas kita di dunia, menjadi faktor kunci bagi setiap insan islami dalam menyikapi perkembangan global.
Maka, dengan begitu, pemikiran dan keteladanan dari para ulama, berdasarkan tafsir pesan dalamkitab suci dari tuhan yang transenden, dapat dijadikan sebagai anutan pola berpikir dan karakter bersikap penyeimbang bagi kepentingan hidup di dua alam.
Imam Al-Ghazali, salah satu ulama klasik di kalangan umat islam, memiliki sumbangsih pemikiran tersendiri terkait ilmu sebagai pedoman hidup. Dalam buku berjudul “Konsep Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan”, Abu Muhammad Iqbal mengemukakan bahwa Imam Al-Ghazali mengklasifikasikan ilmu dalam dua kelas, yaitu ilmu wajib’aini dan wajib kifayah.
Ilmu wajib’a ini dalam pandangan Al-Ghazali adalah ilmu-ilmu agama dengan segala jenisnya, mulai dari kitab Allah, ibadah pokok seperti shalat, puasa, zakat, dan sebagainya. Sedangkan ilmu wajib kifayah, diantaranya adalah ilmu kedokteran, pertanian, matematika, menenun, administrasi, dan jahit-menjahit.
Jenis-jenis ilmu yang disebutkan oleh sang imam tentu saja terbatas pada ilmu-ilmu yang berkembang di zamannya. Dewasa ini, ilmu-ilmu, khususnya yang tergolong dalam kelas wajib kifayah, jumlahnya bisa lebih banyak dari yang telah disebutkan, terutama sekali pada jenis-jenis ilmu yang menjadi pendukung dari ilmu-ilmu wajib kifayah dalam penjelasan Al-Ghazali.
Pandangan Al-Ghazali tersebut mengandung pesan bahwa siapa saja yang telah dan sedang mempelajari ilmu dalam jenis apapun, wajib baginya untuk mengamalkan, menyebarkan dan atau mengembangkannya demi memenuhi kebutuhan hidupnya dan masyarakat dalam kebinekaan.
Hal tersebut tentu saja terkait dengan rumusan hidup bermasyarakat, bahwa setiap manusia tidak dapat hidup sendiri dan atau selalu membutuhkan sumbangsih karya dari sesamanya. Dengan kata lain, kewajiban seseorang dalam berkarya diatas ilmu yang dimilikinya merupakan kebutuhan dan hak orang lain atas dirinya.
Hak masyarakat atas terjaminnya pangan yang berkualitas merupakan kewajiban para ilmuwan dan atau pekerja dibidang pertanian, perikanan, peternakan dan teknologi pangan, pengembangan ilmu oleh ilmuwan dan profesionalisme pekerja dibidang kesehatan merupakan kebutuhan masyarakat akan terwujudnya kehidupan yang sehat, terwujudnya pengelolaan lingkungan yang benar merupakan hak masyarakat yang wajib dijamin oleh ilmuwan lingkungan hidup dan profesional di bidangnya, begitu pula dalam pemenuhan kebutuhan dan hak masyarakat di bidang-bidang lainnya, seperti peralatan elektronik, mesin, teknologi informasi, komunikasi, transportasi, energi, dan masih banyak lagi.
Hak, kebutuhan dan kewajiban tersebut hadir dan terus berkembang dalam kehidupan manusia, sebagai sebuah siklus kausalistik yang masa terputusnya belum dapat diprediksi.
Melalui kesadaran dan pengamalan akan pemahaman semacam itu, barulah pantas umat Islam untuk optimis dalam mengukir sejarahnya sebagai agen pembangunan di segala bidang yang berkelindan dengan pertahanan negaranya.
Tentunya dengan tidak mengabaikan tugas dalam hominisasi dan humanisasi masyarakat. Menjadi tokoh cerita di majelis-majelis malaikat atas ketakwaannya semasa hidup, dan di majelis-majelis manusia atas manfaat karyanya yang tetap terasa meski jiwanya telah berpindah ke alam yang baru.
Mengejewantahkan paham bahwa usaha duniawi dan visi ukhrawi dapat terwujud dalam sebuah perbandingan lurus yang linier. Meneladani rekaman sejarah hidup para ilmuwan muslim salaf, yang seringkali menjadi bagian dari ajang pembanggaan kejayaan masa lalu oleh kalangan muslim kekinian. Menjadi pribadi yang mencapai prestasi kebumian dengan karakter dan jiwa kelangitan.
*** Dosen Fakultas Pertanian, Universitas Tadulako (Untad) Palu