PALU- Praktisi Hukum, Edmond Leonardo menilai penetapan tersangka Bripka H anggota Polres Parigi Moutong atas penembakan terhadap demonstran Erfaldi (21) hingga meninggal, menimbulkan tanda tanya bagi publik.
Ia mempertanyakan, apakah Bripka H bertindak sendiri di luar komando pimpinan, sehingga hanya Bripka H dikenakan hukuman dengan persangkaan Pasal 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Selain itu mantan Kontras Sulawesi ini juga mempertanyakan, apakah Bripka H bertindak membawa pistol semi otomatis jenis HS9 berpeluru tajam tanpa sepengetahuan pimpinan dalam penanganan unjuk rasa tersebut?
Sebab menurutnya, pistol HS9 ini dari berbagai referensi hanya digunakan unit-unit tertentu saja, termasuk penugasan Polri di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dalam misi Formed Police Unit (FPU) di Sudan.
Ia menambahkan, dalam pemberitaan di awal-awal peristiwa ini, Polda Sulawesi Tengah (Sulteng) menyatakan bahwa pelaku penembakan kepada korban Erfaldi adalah oknum Polisi berpakaian preman.
“Polda Sulteng tidak menjelaskan asal kesatuan tersangka Bripka H, apakah dari satuan Intelkam karena menggunakan pakaian preman atau dari mana?”
“Banyak hal selama ini menjadi pertanyaan masyarakat luas, bisa dijelaskan dalam kasus ini,” harap advokat senior disampaikan melalui MAL Online Rabu (2/3) malam.
Sebelumnya, di Gedung PTIK Jakarta Rabu (2/3) kepada sejumlah wartawan , Kapolda Sulteng Irjen Pol. Rudy Sufahriadi mengatakan, penetapan tersangka bagi Bripka H dengan persangkaan pasal 359 KUHP berdasarkan hasil pemeriksaan uji balistik dan laboratorium forensik (labfor) Makasar.
Hasilnya, ditemukan identik dengan anak peluru dan proyektil pembanding ditembakkan dari senjata organik pistol HS-9 dengan nomor seri H 239748 atas nama Bripka H Bintara di Polres Parigi Moutong.
Reporter: Ikram/Editor: Nanang