OLEH: RIFAY*
Sudah menjadi rahasia umum, jika dana bantuan sosial (bansos) dan hibah menjadi ladang primadona para calon kepala daerah, khususnya petahana untuk merebut kembali kekuasaan pada pesta demokrasi di aras lokal.
Modusnya banyak, seperti titip-menitip program di SKPD yang notabene masih dalam lingkup kekuasaannya.
Program yang dimaksud biasanya dalam bentuk bantuan alat pertanian, pupuk, bibit palawija, alat tangkap untuk nelayan, bantuan ternak (biasanya sapi, itik, atau babi), hingga perbaikan rumah ibadah.
Di Sulteng sendiri, ada tiga daerah yang akan menggelar Pilkada tahun depan. Dua daerah, yakni Kabupaten Donggala dan Parigi Moutong (Parimo), Bupati dan Wakil Bupati-nya dikabarkan maju kembali. Sementara di Morowali, meskipun periode kepemimpinan bupatinya sudah berakhir, namun calon yang sedang didorong oleh Bupati Anwar Hafid adalah adiknya sendiri, Syarifuddin Hafid. Semua ini sangat rawan.
Mudah diendus, tapi susah membuktikan modus ini. Petahana dengan power-nya, bisa saja mengatakan bahwa penyaluran dana bansos adalah tugas pemerintah, dalam hal ini atas kebijakannya, dengan alibi peningkatan kesejahteraan.
Di sisi lain, pengalokasian dana bansos dalam mata anggaran, juga tidak dilarang oleh undang-undang, tentunya sesuai kadar atau porsinya masing-masing, alias tidak dibengkak-bengkakkan. Petahana yang turun menyalurkan bantuan dan bertatap muka langsung dengan masyarakat pun, bukan hal yang haram oleh undang-undang.
Memang butuh komitmen dan kejujuran para petahana disini. Mata anggaran yang diberi nomenklatur dana bansos dan hibah itu, adalah semata-mata untuk menyejahterakan rakyat, bukan untuk tujuan lain, apalagi politik.
Persoalan dana bansos ini memang menjadi boomerang dan membuat sibuk pemerintah pusat. BPK sendiri, mengklaim telah menemukan banyak penyelewengan dana bansos dan hibah di berbagai daerah. Biasanya dana bansos dan hibah tidak diterima sebesar yang dipertanggung jawabkan oleh Pemda.
Kita patut bersyukur, karena salah satu titik rawan pelanggaran Pilkada ini masih ada dalam ingatan dan menjadi fokus pengawasan para aparat penegak hukum, khususnya aparatur berseragam cokelat (kejaksaan) yang bernaung dalam lembaga anti rasuah.
Aparat kejaksaan Sulteng bahkan berani menyebut bahwa menjelang pilkada, alokasi dana bansos dan hibah naik signifikan, bahkan sengaja dinaikan oleh petahana, biasanya melalui APBD-Perubahan.
Makanya jajaran kejaksaan di Sulteng, khususnya di daerah yang menggelar Pilkada, diinstruksikan membuka pos pengaduan pilkada. Namun demikian, public juga tidak boleh terlena mendengar kabar bahwa pihak kejaksaan sedang gencar-gencarnya mengawasi penyaluran bansos.
Di beberapa kasus, institusi ini juga menjadi sorotan publik karena suka “main mata” dengan pelaku korupsi. Apalagi, yang bertarung adalah kepala daerah, yang notabene masih berpeluang besar memenangkan Pilkada.
Bisa saja, ada deal-deal yang dilakukan “Jika saya terpilih lagi, saya akan sumbang sekian-sekian atau saya bantu promosikan bapak ke jabatan yang lebih tinggi” hal seperti ini sangat-sangat berpeluang untuk dilakukan.
Tentu kita tidak ingin ini terjadi. Siapa lagi yang bisa diharap untuk memperbaiki bangsa ini kalau bukan pemerintah dan aparat hukum. *** *
*Penulis adalah Wakil Pemimpin Redaksi Harian Umum Media Alkhairaat