OLEH : Darmiati, SH.,CLMA*
Dalam system ketatanegaraan kita mengenal Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI yang merupakan lembaga tinggi negara dan merupakan majelis tinggi dalam Lembaga Legislatif serta beranggotakan perwakilan dari seluruh propinsi yang ada di wilayah Republik Indonesia.
Pada Ketentuan Umum BAB I UU Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 1 ayat 5 menyebutkan bahwa “Dewan Perwakilan Daerah selanjutnya disingkat DPD adalah Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Dewan Perwakilan Daerah dipilih melalui Pemilihan Umum yang dilangsungkan setiap 5 (Lima) Tahun sekali sebagaimana ketentuan dari UUD’45 pada pasal 22 C ayat 1 yang menyebutkan bahwa “anggota DPD dipilih dari setiap Provinsi melalui Pemilihan Umum”.
Pemilihan DPD RI dilakukan pertama kali secara serentak dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada Tahun 2019. Adapun jumlah DPD sama di setiap provinsi, di mana tidak boleh lebih dari 1/3 (satu per tiga) dari jumlah DPR, sebgaimana bunyi pasal 22 C ayat 2 yang menyebutkan bahwa “Jumlah seluruh Anggota DPD adalah sepertiga dari jumlah anggota DPR”.
Kemudian pada ketentuan UU No 17 Tahun 2022 pasal 196 menyebutkan bahwa “Jumlah kursi anggota DPD untuk setiap provinsi ditetapkan 4 (empat)”.
Adapun daerah pemilihanya adalah provinsi sebagaimana ketentuan pasal 197 UU NO 7 Tahun 2017 yang menyebutkan “Daerah Pemilihan untuk Anggota DPD adalah Provinsi”.
Tugas DPD adalah mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang otonomi daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi lain serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Hal ini sebagimana ketentuan pasal 22 D ayat 1 UUD’45.
Berdasarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2022 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah pada Lampiran I menyebutkan bahwa “Tahapan penyerahan dukungan minimal pemilih dimulai pada tanggal 6 Desember 2022 dan berakhir pada tanggal 29 Desember 2022”.
Jumlah dukungan yang diserahkan ke KPU harus memenuhi jumlah minimal dukungan pemilih serta sebaran di daerah pemilihannya berdasarkan ketentuan UU No 7/2017 pasal 183 ayat 1 dan PKPU Nomor 10 Tahun 2022.
Bakal calon anggota DPD harus memenuhi jumlah dukungan minimal pemilih dan sebaran di daerah pemilihan yang bersangkutan sebagaimana ketentuan Pasal 8 ayat 1 ketentuan ini.
Sedangkan pada ayat 2 disebutkan bahwa jumlah dukungan minimal pemilih di daerah pemilihan sebagiman dimaksud ayat (1) meliputi:
a. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat dalam daftar pemilih tetap sampai dengan 1.000.000 (satu juta) orang harus mendapatkan dukungan paling sedikit 1000 (seribu) pemilih.
b. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat dalam daftar pemilih tetap sampai lebih dari 1.000.000 (satu juta) sampai dengan 5.000.000 (lima juta) orang harus mendapatkan dukungan paling sedikit 2000 (dua ribu) pemilih.
c. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat dalam daftar pemilih tetap sampai dengan 5.000.000 (lima juta) sampai dengan 10.000.000 (sepuluh juta) orang harus mendapatkan dukungan paling sedikit 3000 (tiga ribu) pemilih.
d. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat dalam daftar pemilih tetap sampai
dengan 10.000.000 (sepuluh juta) sampai dengan 15.000.000 (lima belas juta) orang harus mendapatkan dukungan paling sedikit 4000 (empat ribu) pemilih.
e. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat dalam daftar pemilih tetap sampai
dengan 15.000.000 (lima belas juta) orang harus mendapatkan dukungan paling sedikit 5000 (lia ribu) pemilih.
Dukungan pemilih sebagaimana dimaksud diatas harus tersebar paling sedikit 50 % (lima
puluh persen) dari jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan sebagaimana ketentuan UU Nomor 7 Tahun 2017 pasal 183 ayat (1) Poin 2 yang berbunyi ”Dukungan sebagaimana ayat (1) tersebar di paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan”. Ketentuan ini ditindaklanjuti dengan pasal 8 ayat 3 PKPU Nomor 10 Tahun 2022.
Berdasarkan uraian -uraian di atas menunjukkan bahwa persyaratan pencalonan calon anggota DPD memerlukan kecepatan dan kecermatan dalam mengumpulkan persyaratan yang dimaksud, di mana jumlah dukungan minimal pemilih harus sesuai jumlah dan sebaran dukungan serta ketepatan jadwal waktu penyerahan dokumen persaratan adminstrasi bakal calon yang telah ditentukan oleh KPU.
Pada fase ini, terdapat perbuatan yang oleh bakal calon DPD berpotensi melanggar ketentuan yang berlaku dikarenakan persyaratan yang harus memenuhi 50 % sebaran di wilayah propinsi dengan kondisi geografis yang tidak mudah dijangkau, terdiri dari pulau dan daratan yang jarak tempuhnya sangat berjauhan dan waktu yang singkat yang ditentukan oleh KPU, sehingga dalam kegiatan menarik simpati pemilih berpotensi dilakukan dengan cara-cara yang tidak dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
Misalnya menggunakan uang atau materi lainnya untuk membujuk pemilih memberikan dukungannya. Bahkan ada potensi intimidasi kepada pemilih agar memberikan dukungannya, disertai ancaman dan paksaan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan bakal calon DPD.
Tindakan sebagaimana diuraikan di atas tidak dbenarkan oleh ketentuan peraturan
perundang-undangan sehingga dapat disangkakan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 pasal 519 yang berbunyi “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan seseorang dengan memaksa, dengan menjanjikan atau dengan memberikan uang atau materi lainnya untuk memperoleh dukungan bagi pencalonan anggota DPD dalam Pemilu, sebagimana dimaksud dalam pasal 183, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak 36.000.000 (tiga puluh enam juta rupiah)”.
Pada Ketentuan pasal 183 ayat 3 UU Nomor 17 menyebutkan, persyaratan sebagaimana ayat 1 dan ayat 2 dibuktikan dengan daftar dukungan yang dibubuhi dengan tanda tangan atau cap jempol jari tangan dan dilengkapi fotocopy Kartu Tanda Penduduk setiap pendukung.
Artinya, setiap tindakan bakal calon DPD dalam mendapatkan dukungan dengan meminta KTP dan meminta tanda tangan pemilih ataupun cap jempol, tidak boleh dibarengi dengan pemberian uang ataupun janji, ataupun paksaan kepada pemilih.
Selain adanya potensi money politic dan intimidasi, terdapat pula potensi daftar dukungan palsu oleh bakal calon DPD, dalam hal ini menggunakan data, tanda tangan dan atau dokumen palsu atau menggunakan surat orang lain, seperti KTP dan tanda tangan palsu
tanpa sepengetahuan yang bersangkutan untuk dijadikan daftar pendukung.
Hal ini berpotensi disangkakan dengan ketentuan pasal 520 UU/7 tahun 2017 yang berbunyi “Setiap orang yang dengan sengaja membuat surat atau dokumen palsu dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang memakai atau setiap orang yang dengan sengaja memakai surat atau dokumen palsu untuk menjadi bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, untuk menjadi pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagaimana dimaksud dalam pasal 254 dan pasal 260, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak 72.000.000 juta rupiah”.
Apabila kelengkapan administrasi bakal calon DPD ditemukan telah melakukan pemalsuan dokumen atau menggunakan dokumen palsu, maka KPU harus berkoordinasi dengan kepolisian.
Hal ini berdasarkan ketentuan pasal 254 yang menyebutkan ”Dalam hal ditemukan telah terjadi pemalsuan dokumen atau penggunaan dokumen palsu dalam persyaratan administrasi bakal calon dan/atau calon anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD
kabupaten/kota, KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota berkoordinasi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk menindaklanjutinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Ketentuan perundang-undangan tentang penanganan tindak pidana pemilu ditindaklanjuti oleh Bawaslu, kepolisian dan kejaksaan dalam wadah Sentra Gakkumdu.
Hal ini berkesesuain dengan ketentuan UU Nomor 7 Tahun 2017 dalam pasal 476 yang berbunyi (1) “Laporan dugaan tindak pidana pemilu diteruskan oleh Bawaslu, Bawaslu provinsi, Bawaslu kabupaten/kota, dan/atau Panwaslu kecamatan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak Bawaslu, Bawaslu provinsi, Bawaslu kabupaten/kota dan/atau Panwaslu kecamatan menyatakan bahwa perbuatan atau tindakan yang diduga merupakan tindak pidana Pemilu”.
Selanjutnya ayat (2) menyebutkan ”Perbuatan atau tindakan yang diduga merupakan tindak pidana pemilu sebagaimana ayat (1) dinyatakan oleh Bawaslu, Bawaslu provinsi, Bawaslu kabupaten/kota dan/atau Panwaslu kecamatan setelah berkoordinasi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Gakkumdu”.
Seorang pemilih dalam memberikan dukungan kepada calon DPD yang dibuktikan dengan daftar dukungan dan pemberian foto copy KTP dan tanda tangan serta cap jempol hanya bisa diberikan kepada 1 (satu) orang calon DPD, tidak boleh 2 (dua) atau lebih.
Hal ini berdasarkan ketentuan pasal 260 yang menyatakan (1) ”Persyaratan dukungan minimal pemilih sebagaimana dimaksud dalam pasal 183 ayat (1) dibuktikan dengan daftar dukungan yang dibubuhi tanda tangan atau cap jempol jari tangan dan dilengkapi foto copy kartu tanda penduduk setiap pendukung”.
Dari ketentuan tersebut maka dipastikan bakal calon DPD ataupun pihak yang dikuasakan untuk mengumpulkan dukungan pemilih, harusnya bertemu langsung dengan pemilih yang akan mendukungnya untuk meminta KTP dan membubuhi Tanda tangan atau cap jempol dalam daftar dukungan dari Bakal calon yang bersangkutan.
Dalam daftar dukungan bakal calon DPD tidak boleh terdapat nama 1 (satu) orang pemilih
dalam daftar dukungan bakal calon yang lainnya lagi.
Hal ini diatur dalam Pasal 183 ayat (2) menyebutkan “Seorang pemilih tidak dibolehkan memberikan dukungan kepada lebih dari 1 (satu) orang bakal calon anggota DPD”.
Bila terdapat data yang sengaja digandakan oleh Bakal calon anggota DPD ataupun ditemukan data palsu atau sengaja dipalsukan oleh bakal calon, maka diberikan sanksi administrasi yaitu pengurangan 50 % kali temuan bukti data palsu atau data yang sengaja digandakan.
Ketentuan yang mengaturnya terdapat dalam UU Tahun 2017 Pasal 260 ayat 3 yang berbunyi “Dalam hal ditemukan bukti adanya data palsu atau data yang sengaja digandakan oleh bakal calon anggota DPD dikenai pengurangan jumlah dukungan minimal pemilih sebanyak 50 (lima puluh) kali temuan bukti data palsu atau data yang digandakan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka terdapat potensi pelanggaran administrasi dan potensi pelanggaran pidana pemilu dalam tahapan pencalonan DPD dan tidak menutup kemungkinan potensi pelanggaran kode etik Pemilu.
*Penulis adalah Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran dan Datin, Bawaslu Provinsi Sulawesi Tengah