Posko Sulteng Bergerak: Tanggap Darurat Belum Selesai

oleh -
Direktur Skala, Trinirmalaningrum saat memaparkan hasil penelitian tim ekspedisi Palu-Koro di kantor Yayasan Tanah Merdeka, Jalan Tanjung Manimbaya, Kota Palu, Sabtu (17/11). (FOTO: MAL/IKRAM)

PALU – Posko Sulteng Bergerak memiliki 37 catatan penting dalam penanganan pasca gempa bumi, tsunami dan likuifaksi di Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Kabupaten Donggala. Catatan yang dimaksud nantinya akan diadvokasi, baik pada tingkat provinsi maupun nasional oleh lembaga tergabung dalam Posko Sulteng Bergerak.

Catatan penting itu di antaranya, bantuan tidak dengan utang ke luar negeri seperti pada Jepang, pembangunan huntara tidak pada titik zona sesar Palu-Koro, serta melakukan mikro zonasi pada tiap daerah yang dilalui jalur sesar Palu-Koro.

Catatan tersebut merupakan hasil diskusi digelar di Sekretariat Yayasan Tanah Merdeka, Jalan Tanjung Manimbaya Kota Palu, Sabtu (17/11). Kegiatan menghadirkan Direktur Huma Dahniar,  Direktur Skala (Tim Ekspedisi Palu Koro) Trinirmalaningrum, dan Ahli Geologi Reza serta  Doni Moidady dari Kordinator Sulteng Bergerak.

Koordinator Sulteng Bergerak, Doni Moidady, mengatakan, meskipun pemerintah sudah menyatakan bahwa status bencana di wilayah Sulteng telah selesai, namun tidak bagi Relawan Sulteng Bergerak.

“Hal ini dikarenakan data lapangan yang menyatakan bahwa terdapat beberapa wilayah seperti di Pantai Barat Kabupaten Donggala yang masih dianggap berstatus tanggap darurat,” katanya.

Kata dia, isu penting yang perlu difokuskan pascabencana adalah berkaitan dengan pengangguran. Berdasarkan data di lapangan, banyak warga yang telah kehilangan pekerjaan, misalnya yang bekerja di hotel, toko, ataupun para nelayan.

“Hampir semua tidak bisa bekerja karena dampak bencana tersebut. Apabila tidak ditemukan solusi yang tepat, maka yang akan timbul adalah konflik sosial yang kedepannya akan sulit diredam,” imbuhnya.

Direktur Eksekutif Perkumpulan Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), Dahniar Andriani, mengatakan, HuMa adalah organisasi non pemerintah yang bersifat nirlaba. Organisasi itu memusatkan perhatian kerja pada isu pembaharuan hukum berbasis masyarakat dan ekologis. Organisasi HuMa lebih banyak bergerak ke permasalahan sisi aspek Hukum dalam berbicara tentang pembangunan pascabencana.

Pihaknya, kata dia, hanya mengawal dalam proses pembangunan, khususnya terkait lokasi warga yang terdampak bencana.

“Kami memahami bahwa bantuan kebutuhan dasar tetap berjalan, namun jangan mengesampingkan kebutuhan lain yang dalam jangka panjang. Karena dikhawatirkan, hak-hak jangka panjang masyarakat menjadi terlupakan. Selain itu, perlu diperhatikan dalam penyelesaian masalah karena jangan sampai dalam menyelesaikan masalah satu akan menimbulkan masalah lainnya,” katanya.

Dia menambahkan, Provinsi Sulteng pada dasarnya telah memiliki lembaga pendidikan yang memiliki kapabilitas dalam memberikan rekomendasi terhadap Pemda. Misalnya Universitas Tadulako yang dalam kajian harus ditindaklanjuti dengan baik dan tepat sasaran.

Perkumpulan Keluarga Peduli Pendidikan/Kerlip, Yanti mengatakan, pihaknya focus pada sektor pendidikan pascabencana, agar seluruh anak di wilayah terdampak, tetap memperoleh hak pendidikan meskipun dalam situasi darurat.

“Berdasarkan data yang ada, terdapat sekitar 1.507 kelas di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang mengalami rusak berat serta terdapat sekitar 434 kelas (186 madrasah) di bawah naungan Kementerian Agama yang mengalami rusak berat,” katanya.

Saat ini, kata dia, telah dibangun kelas-kelas sementara dengan menggunakan tenda, baja ringan atau kayu.

Di sisi lain, kata dia, pihak Kementerian Agama juga telah menganggarkan sebesar Rp26 Miliar dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI sebesar 239 Miliar untuk sektor pendidikan pascabencana.

“Diperkirakan anggaran tersebut akan diserahkan pada 20 November 2018 secara langsung pada setiap-setiap sekolah yang terdampak,” imbuhnya.

Sementara Ahli Geologi sekaligus Peneliti Sesar Palu-Koro, Reza Permadi, mengatakan, atas terjadinya bencana alam di Sulteng, pihaknya bersama tim merekomendasikan beberapa hal, antara lain pemindahan lokasi pemukiman yang berada pada jalur sesar.

“Hal ini menjadi kerja keras tersendiri, khususnya perlunya peran dari Pemda,” ujarnya.

Kemudian, pada daerah yang terkena likuifaksi, di antaranya Balaroa, Petobo dan Jono Oge untuk dijadikan sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH), bukan sebagai lahan hunian tetap dan dianjurkan hanya dibangun hunian sementara berupa bangunan ringan.

Selanjutnya kata dia, perlu dilakukan pengkajian secara mendalam berkaitan dengan literasi penamaan daerah di wilayah Pasigala dikarenakan suku Kaili yang menjadikan nama daerah atas dasar sejarah masa lampau. Hal tersebut cukup penting dilaksanakan disamping pembandingan dengan data Geologi.

“Tim terus melakukan edukasi terhadap masyarakat, salah satunya dengan melalui Geowisata. Hal tersebut efektif dilakukan karena menciptakan komunikasi melalui pariwisata dengan mengajak masyarakat ke tempat langsung terjadinya bencana dengan penyampaian bahasa yang populer dan mudah dimengerti,” katanya.

Dia mencontohkan pada kawasan sesar San Andreas yang telah dibangun objek geowisata dengan memasang papan nama sesar di sepanjang jalur sesar San Andreas dalam rangka memberikan edukasi kepada masyarakat. (IKRAM)