Pope Mahile, Tarian Penyambutan Tamu Masyarakat Lore di Festival Tampo Lore

oleh -
Tarian Penyambutan Tamu Masyarakat Lore di Festival Tampo Lore. (FOTO : media.alkhairaat.id/Mayah)

POSO — Di hadapan rombongan pejabat pemerintah, seorang pria berusia lebih dari setengah abad mengangkat senjata tajam dan sebilah perisai kayu. Bukan sedang menantang adu perang, gerakan maju-mundur disertai sorakan tersebut memperagakan tarian Pepo Mahile, tarian penyambutan khas Masyarakat Lore yang mendiami kawasan Lembah Behoa, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso. Daerah ini dikenal dengan sebaran megalitik terbanyak di Sulawesi Tengah.

Lembah Behoa, yang memiliki situs megalitik Pokekea di Desa Hanggira, menjadi lokasi digelarnya Festival Tampo Lore untuk ketiga kalinya pada Jumat (28/06/2024). Tarian Pepo Mahile diawali oleh pria tadi dan diikuti oleh dua barisan anak-anak yang membelah keramaian. Barisan anak laki-laki menari serupa diiringi musik bambu, sementara barisan anak perempuan membawa bingka atau bakul berisi kelopak bunga merah yang mereka taburkan kepada para tamu.

Rampoy Mentara, tokoh masyarakat yang memimpin tarian Pepo Mahile, berada di tengah-tengah kemeriahan. Dalam genggamannya terdapat tavala dan piho, dua senjata khas masyarakat Lore yang mirip tombak dan parang. Gerakan tarian yang berlangsung hampir lima menit ini mampu membuat siapa pun berkeringat, namun Rampoy justru menunjukkan semangat dengan lompat-lompatan yang lebih cepat.

Lembah Behoa menawarkan lebih dari sekadar keindahan landscape padang rumput hijau dan hamburan kalamba di tengah perbukitan. Keberagaman tradisi yang telah ada sejak zaman purbakala juga menjadi daya tarik utama. Rampoy, bersama anak-anak masyarakat Lore, mempresentasikan tradisi ini melalui tarian Pepo Mahile, yang diajarkan di kelompok kesenian di Desa Lempe, tanah kelahirannya.

“Tarian ini menceritakan perilaku asli nenek moyang kita terdahulu, bukan dongeng. Seperti perilaku Tadulako yang pemberani misalnya,” jelas Rampoy di sela-sela acara.

Rampoy, yang memang berasal dari kalangan seniman, menginisiasi terbentuknya kelompok kesenian ini sejak 2007. Tujuannya adalah mengajak anak-anak pelajar untuk belajar tarian tradisional. Anak-anak di Desa Lempe sering memenuhi teras rumahnya setelah pulang berkebun dan sekolah, meminta diajarkan tarian Pepo Mahile dan Masao, tarian yang mengisahkan perjuangan sang Tadulako.

Semangat berbudaya pada kelompok kesenian ini bukan hanya tuturan Rampoy. Sael, seorang anak laki-laki yang lebih mungil dibanding teman-temannya, dengan berani mengajukan diri untuk diwawancarai. Sorot matanya tajam sembari merapatkan piho di pinggang kanannya, menggambarkan semangat keberanian sang Tadulako.

“Saya suka belajar Masao, asik begitu,” kata Sael yang bercita-cita menjadi guru.

Meskipun lebih dari satu dekade mendirikan kelompok kesenian di Desa Lempe, anak didik Rampoy belum pernah tampil di luar Kabupaten Poso, bahkan untuk event-event bertaraf provinsi se-Sulawesi Tengah.

“Keinginan saya, kalau ada lagi event-event seperti ini, diingat juga kasian kitorang (anak-anak) ini,” tutup Rampoy.

Reporter : Mayah