PERTENGAHAN pekan lalu, Pancasila menjadi topik dan perhatian utama masyarakat. Kamis, 1 Juni itu memang dirayakan sebagai Hari Lahir Pancasila. Dan, itu sudah sejak lama berlangsung. Hanya saja tahun ini, perayaannya begitu terasa. Bahkan terkesan ada politisasi pancasila.
Namanya kesan tentu saja setiap orang berbeda. Namun, tentu setiap orang memiliki alasan atas kesannya tersebut. Kesan itu didapat dari pengalaman yang didapatkan dan dikombinasikan dengan fakta kekinian.
Tahun ini perayaannya berbeda. Misalnya dimana-mana, utamanya di lini masa media sosial, muncul semacam tagline atau jargon, “Saya Pancasila, Saya Indonesia.” Hal ini tak pernah terjadi sebelumnya. Terasa berlebihan karena kalimat Saya Pancasila, dapat bermakna saya dasar negara. Begitu gampangkah setiap orang menyatakan dirinya sebagai dasar negara?
Jadi karena itulah terasa wajar bila ada kesan politisasi Pasncasila, khususnya perayaan Hari Lahir Pancasila tahun ini. Kesan ini dikaitkan dengan peristiwa politik yang terjadi selama tahun ini, termasuk didalamnya kontestasi pemilihan kepala daerah di pelbagai daerah. Kesan ini bisa jadi benar, bisa jadi keliru. Sekali lagi bergantung pada setiap individu.
Harus diakui, Pancasila pernah menjadi sebuah doktrin yang justru tak pernah diresapi dan diinternalisasi ketika kekuasaan hanya bisa menyosialisasikan tanpa memberikan teladan secara imperatif. Sekarang kita justru menjadi rindu dan mencari kembali nilai-nilai itu pada saat bangsa ini mulai goyah dan terbelah akibat kontestasi politik elektoral yang keras. Masyarakat saling hujat dan saling kecam. Lebih menonjolkan identitas sebagai faktor perbedaan. Itulah yang bisa melemahkan dan membahayakan.
Perbedaan itu justru menjadi aset maupun fondasi bangsa asalkan bisa direkat dan disatukan dalam satu komitmen bersama. Di negara lain pun sama yakni selalu ada heterogenitas dan pluralisme. Komitmen kebangsaan itulah yang menjadi perekat. Di Indonesia semua itu mewujud dalam lima sila. Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan dan keadilan. Semua paham, ideologi dan pandangan melebur. Maka Bung Karno tegas mengatakan Pancasila adalah alat pemersatu.
Pancasila justru direndahkan dan dikaburkan ketika menjadi alat politisasi. Sinisme muncul karena minimnya keteladanan dalam kepemimpinan. Pancasila hanya menjadi jargon kosong bahkan kedok untuk melakukan kecurangan dan praktik-praktik ketidakadilan oleh rezim otoriter. Padahal seharusnya nilai-nilai itu menjadi nafas kehidupan dan selalu menjadi pegangan dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara serta dalam dinamika kehidupan sehari-hari semua elemen bangsa ini. Untuk itulah, harus dihindari pancasila digunakan sebagai alat politik. Jauhi politisasi pancasila.