Politik Uang; antara Kebutuhan dan Kampanye Penolakan

oleh -
Ilustrasi Politik Uang. (media.alkhairaat.id)

OLEH: Edi Lukito*

Rangkaian Pemilu 2024 saat ini tengah berada pada masa kampanye. Cara berulang dan umum yang dilakukan para kontestan pemilu untuk meraup dukungan, utamanya saat kampanye adalah dengan berbagi uang atau barang (politik uang).

Beruntung, jauh sebelum masa kampanye pemilu, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) telah lebih dulu melakukan kampanye ”Hajar Serangan Fajar” dengan menggandeng KPU, Bawaslu, dan Kominfo.

Kampanye itu sebagai langkah antisipasi untuk mengurangi bahkan meniadakan praktik politik uang, dengan memberi edukasi kepada masyarakat agar sadar terhadap bahaya praktik politik uang.

Lantas, apa momok menakutkan dari praktik politik uang? Serta, mampukah ia dibasmi dengan peningkatan kesadaran masyarakat?

Politik uang sampai saat ini belum  memiliki definisi baku.  Dalam lingkup masyarakat umum, politik uang dipahami sebagai perilaku korupsi pada pemilihan umum.

Jelasnya, politik uang adalah upaya yang dilakukan peserta Pemilu dengan memengaruhi pilihan pemilih dengan imbalan materi atau jasa, atau memengaruhi penyelenggara Pemilu agar melakukan manipulasi guna memuluskan jalannya meraih kemenangan.

Dari pemahaman tersebut, politik uang merupakan salah satu bentuk suap.

Larangan politik uang tertuang pada UU No. 17 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Sebut saja pada pasal 523 ayat 3 menyebutkan, “Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang, materi dan lainnya kepada Pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 36 juta.”

Pasal ini dengan jelas menyebutkan subjek ”setiap orang”. Sebab, setiap orang dapat menjadi media dalam membantu praktik politik uang.

Hal di atas sesuai pada hasil temuan ICW (Indonesian Corruption Watch) pada setiap penyelenggaraan Pemilu, Pilpres, maupun Pilkada, perbuatan politik uang selain didominasi  oleh tim kampanye, politik uang juga dilakukan oleh orang-orang yang tidak masuk secara resmi dalam tim kampanye kandidat.

Seperti sanak keluarga, kerabat,  mahasiswa, tokoh agama, para birokrat, Kepala Desa, Ketua  RT/RW, dan para pegawai negeri sipil.  

Para aktor politik uang di atas, utamanya para kandidat, melakukan berbagai cara dalam memengaruhi pemilih dan penyelenggara  guna memenangkan persaingan.

Modus yang paling lama dan umum dilakukan adalah pemberian uang secara langsung kepada peserta temu kader, peserta kampanye, serangan malam, fajar, dhuha, atau pemberian uang pasca pencoblosan. Selain modus lama tersebut, adapula modus-modus baru seperti pemutihan kredit, pemberian barang atau fasilitas, pembagian sembako, sarung, asuransi dan bibit tanaman, pembangunan jalan-jembatan menggunakan dana pemerintah, dan pengobatan gratis.

Jika melihat pada modus-modus politik uang di atas, dapat sangat dimaklumi apabila masyarakat mudah menerima politik uang yang terjadi. Sebab sesuatu yang ditawarkan dalam transaksi ini merupakan kebutuhan dasar (fisiologi) (seperti kebutuhan akan sembako dan pengobatan gratis), kebutuhan akan rasa aman (seperti kebutuhan pada jalan/jembatan dengan kondisi baik, pemutihan kredit, dan asuransi) dan kebutuhan akan hak kepemilikan (seperti pemberian bibit tanaman).

Ketiga kebutuhan ini merupakan tiga dari lima hal teratas dalam teori hierarki kebutuhan Abraham Moslow. Sementara dua lainnya (kebutuhan mendapat penghargaan dan kebutuhan aktualisasi diri) merupakan pelengkap dari tiga kebutuhan sebelumnya.

Menurut Moslow, hierarki kebutuhan itu harus terpenuhi secara bertahap, agar dapat mendapatkan kehidupan yang layak dan bahagia.

Selain karena tawaran politik uang adalah suatu kebutuhan, terdapat empat motivasi masyarakat bersikap permisif pada politik uang.

Pertama, ekonomi masyarakat yang rendah, sehingga cenderung memilih hal-hal yang menguntungkan, walau  hanya bersifat sesaat.

Kedua, rasa takut terhadap pembalasan yang akan diberikan kandidat kepada masyarakat apabila menolak politik uang.

Ketiga, masih kuatnya rasa primordialisme di kalangan masyarakat Indonesia. Hal ini terjadi apabila pelaku politik uang itu merupakan anggota keluarga, teman dekat, atau orang yang sedarah. Keempat, anggapan bahwa politik uang merupakan tanda kedermawanan dan kebajikan seorang kandidat.

Di.balik motivasi masyarakat untuk menerima politik uang yang mengarah pada normalisasi praktik ini, sebenarnya politik uang adalah perbuatan yang tidak terpuji dan melahirkan banyak mudarat.

Politik uang dapat mengganggu rasionalitas masyarakat dalam memilih kandidat dengan iming-iming, sehingga pada Pemilu nihil prinsip objektivitas dan keadilan.

Ketika proses Pemilu sudah nihil dari kedua prinsip tadi, kualitas demokrasi suatu negara hanya sebatas slogan dan omong kosong belaka.

Selain itu, politik uang juga membuat biaya politik semakin tinggi. Tingginya biaya politik tersebut mendorong para kandidat, setelah terpilih, memanfaatkan jabatan yang telah ia miliki untuk meraup keuntungan yang banyak, agar balik modal. Akibatnya para kandidat saat terpilih dan memegang kendali pemerintahan cenderung melakukan hal-hal yang memperkaya dirinya dan lebih berpihak pada para investor politik yang telah membantunya.

Galibnya para kandidat inilah yang kemudian menodai negeri ini dengan perbuatan korupsi.

Setelah mencermati praktik politik uang yang ekstensif  melibatkan seluruh masyarakat dari pelbagai latar belakang, serta implikasinya yang buruk bagi kehidupan bernegara. Maka, praktik politik uang dalam dinamika perpolitikan di negeri ini harus dihentikan.

Cara yang umumnya ditempuh adalah penguatan pendidikan politik bagi masyarakat.

Seperti yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjelang perhelatan Pemilu 2024, lembaga anti rasuah Indonesia ini meluncurkan program ”Hajar Politik Uang” sebagai bentuk kampanye dan pendidikan bagi masyarakat agar sikap permisif mereka terhadap politik uang semakin minim.

Namun, upaya yang hanya berfokus pada masyarakat sebagai korban politik uang, saya rasa kurang efektif dan sudah usang. Mengingat modus yang dilakukan dalam praktik politik uang menyangkut kebutuhan pokok yang harus dipenuhi oleh manusia, sangat sulit untuk ditolak apabila diberikan, terutama bagi masyarakat yang memang membutuhkan.

Dalam kasus semacam ini, cara yang tepat adalah menghentikan pelakunya. Sehingga yang seharusnya dilakukan adalah menyadarkan para aktor politik untuk berhenti menggunakan cara ini dalam merebut suara dan simpati masyarakat. Upaya ini kemudian dapat dimulai dari partai politik dan investor politik sebagai penopang para kontestan dalam Pemilu, Pilpres, maupun Pilkada.

Dalam hal ini, partai politik sangat berperan untuk meningkatkan mentalitas kandidat usungan, agar berani memenangkan Pemilu dengan jujur, tanpa politik uang. 

Wal akhir, kampanye kepada masyarakat untuk melawan politik uang merupakan cara lama yang tak kunjung membuahkan hasil.

Perlu memindahkan objek kampanye melawan politik uang itu kepada para aktor politik yang kemudian akan menjadi pelaku praktik ini. Partai politik sebagai lembaga yang berperan aktif dalam proses periodisasi kepemimpinan suatu negara memegang kunci penting praktik ini terus langgeng atau terhenti.

Sampai detik ini, kami masih menunggu keberanian para kandidat memenangi Pemilu tanpa politik uang. Tabik!

*Penulis adalah Mahasiswa Universitas Al-Azhar Kairo