OLEH :Darmiati, SH*

Politik uang atau money politic adalah aktifitas seorang calon pemimpin yang akan mengikuti perhelatan pemilu dalam meraup suara sebanyak-banyaknya untuk menjadikannya seorang pejabat politik dengan memberikan uang atau materi lainya dengan maksud mempengaruhi pilihan pemilih pada hari pemungutan suara.

Money politic ini secara praktik biasanya dilakukan sebelum, saat masa kampanye, juga dilakukan saat masa tenang bahkan saat pungut hitung di TPS kemungkinan bisa saja terjadi dengan istilah yang sudah membudaya yaitu “serangan fajar”.

Money politic ini biasanya dilakukan langsung oleh calon pejabatnya dan atau tim pelaksana dan tim kampanye, ataupun setiap orang yang disuruh melakukan.

Kegiatannya bermacam ragam, ada giat jalan santai dengan memberikan hadiah, lomba olah raga, pertemuan di kelompok masyarakat tertentu yang disertai pemberian uang atau barang, sunatan massal bahkan pertemuan/kampanye akbar dengan membagikan hadiah dimasa kampanye.

Ada juga yang mendatangi masyarakat dengan metode door to door membagikan uang dan atau materi lainnya yang dibarengi dengan ajakan memilih dan atau penyebaran bahan kampanye.

Penerima money politic ini biasanya dari sebagian golongan walaupun tidak semuanya adalah masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi di atas rata-rata, di mana saat menerima uang atau materi lainnya tersebut memang dalam keadaan sangat membutuhkan.

Bahkan tindakan calon tersebut, dianggap sebagai suatu kebaikan yang luar biasa, mereka memuji-muji kebaikan itu, walau mereka terimanya 5 Tahun sekali.

Dan lebih miris lagi adalah ketika ada calon yang tidak mau menggunakan politik uang, dianggap calon yang ” Paepulu” dalam bahasa Kaili diartikan sebagai calon yang pelit dan dianggap bukanlah calon yang menjadi dambaan mereka.

Itulah pengaruh “hipnotis” kejahatan yang luar biasa dari giat money politic ini. Kalangan masyarakat yang menerima tidak mengerti betapa tindakan calon tersebut adalah sebuah kejahatan awal untuk membangun negeri.

Hak politik mereka sepertinya dicekik dengan adanya pemberian yang nantinya akan menjadi hutang budi saat menggunakan hak politiknya, Kedaulatannya seperti tersesat di sebuah jalan kebingungan antara memilih sesuai hati nurani atau keterpaksaan memilih karena sudah berhutang budi.

Kedaulatan atas suaranya terkoyak hanya kerena pemberian yang kemungkinan hanya sekali seperiode masa jabatan.

Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 sudah mengatur larangan praktik money politic sebagaimana ketentuan pasal 523 berbunyi :”Setiap pelaksana , peserta dan/atau tim kampanye Pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainya sebagai imbalan kepada peserta pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam pasal 280 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).

Kemudian ketentuan pasal 523 ayat (2) berbunyi : Setiap pelaksana, peserta dan atau tim kampanye pemilu yang dengan sengaja pada masa tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainya kepada pemilih secara langsung atau tidak langsung sebagaimana pasal 278 ayat 2(dua) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4(empat) tahun dan denda paling banyak 48.000.000,00(empat puluh delapan juta rupiah)”.

Selanjutnya ketentuan pasal 523 ayat 3 (tiga) berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainya kepada pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3(tiga) tahun dan denda paling banyak 36.000.000,00(tiga puluh enam juta rupiah)”.

*Penulis adalah Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran, Data dan Informasi Bawaslu Sulawesi-Tengah