PALU – Hasil kajian dan penelitian Yayasan Tanah Merdeka (YTM) Sulawesi Tengah mengungkap bahwa 1.478 warga diduga terpapar penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan pneumonia diduga akibat dampak operasional PLTU Captive PT Huabao Industrial Park di Kabupaten Morowali.

“Dari total 1.478 orang yang terdampak, sebanyak 1.361 orang menderita ISPA, sementara 117 orang mengalami pneumonia,” ujar Direktur YTM Sulawesi Tengah, Richard Fernandez Labiro, dalam diskusi publik peluncuran hasil riset bertajuk Daya Rusak PLTU Captive di Kawasan PT IHIP Morowali, yang diselenggarakan oleh Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) dan YTM Sulawesi Tengah di Hotel Jazz, Jalan Zebra, Kota Palu, Ahad (23/3).

Richard menjelaskan, kelompok usia yang paling banyak terdampak adalah rentang 9–60 tahun dengan total 992 orang, diikuti anak usia di bawah 5 tahun sebanyak 477 orang, anak usia 5–9 tahun sebanyak 128 orang, dan lansia di atas 60 tahun sebanyak 63 orang.

Selain ISPA dan pneumonia, dampak lain yang dialami warga mencakup sesak napas, batuk, flu, gangguan tidur, hingga stres. Dari sisi lingkungan, warga mengeluhkan udara yang penuh debu, asap pekat, air yang tercemar minyak, hasil tangkapan ikan yang menurun, banjir, serta perubahan ekosistem.

“Masyarakat terdampak menginginkan pengurangan aktivitas atau bahkan relokasi PLTU karena mengancam mata pencaharian dan kenyamanan hidup mereka,” tegas Richard.

Direktur Eksekutif WALHI Sulawesi Tengah, Sunardi Katili, menyampaikan bahwa berdasarkan data Kementerian ESDM tahun 2020, total sumber daya bijih nikel Indonesia mencapai 11,88 miliar ton, dengan 99 persen cadangannya tersebar di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara.
Menurut catatan WALHI, terdapat 91 izin usaha pertambangan (IUP) di Morowali dan Morowali Utara dengan total luas konsesi 187.295 hektare, terdiri atas 53 IUP di Morowali seluas 118.139 hektare dan 38 IUP di Morowali Utara seluas 69.159 hektare.

Sunardi mengatakan, bahwa saat ini terdapat 20 unit PLTU beroperasi di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) dengan kapasitas total 2.970 megawatt (MW), sementara 16 unit lain sedang dalam tahap konstruksi dengan kapasitas 2.600 MW.

Di kawasan PT Stardust Estate Investment (SEI), terdapat 12 unit PLTU yang sudah beroperasi dengan kapasitas 945 MW dan 4 unit dalam pembangunan dengan daya 1.350 MW.

Sementara itu, di kawasan PT Huabao Industrial Park (IHIP), terdapat 3 unit PLTU beroperasi dengan total daya 350 MW.

Sunardi menambahkan bahwa meskipun Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Energi Baru Terbarukan (EBT) telah diterbitkan, regulasi ini masih memberikan peluang pembangunan PLTU Captive hingga tahun 2050.

“Undang-Undang EBT masih sebatas rancangan, sehingga penggunaan batu bara untuk PLTU Captive tetap meningkat,” katanya.

Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, menilai bahwa pemerintah tidak konsisten dalam kebijakan penghentian PLTU Captive.

“Di satu sisi ada regulasi yang melarang pembangunan PLTU Captive baru, tetapi di sisi lain regulasi berikutnya justru masih membolehkan. Ini menunjukkan ketidakkonsistenan pemerintah,” ujarnya.

Sementara itu, anggota DPRD Sulawesi Tengah, Aristan, menyatakan bahwa pihaknya telah menerima laporan hasil kajian dan penelitian yang dilakukan oleh NGO.

“Kami telah menindaklanjuti dengan menggelar rapat bersama Komisi III DPRD Sulteng serta menemui Dirjen terkait. Saya mendorong pembentukan panitia khusus (Pansus) untuk menindaklanjuti temuan ini, dengan melibatkan pemerintah daerah dan pusat guna perbaikan tata kelola pertambangan yang lebih berkelanjutan,” ujarnya.

Reporter : IKRAM