POSO- ” Prosesnya lama biasa tiga bulan , bahkan bisa sampai setengah tahun atau nanti ada proyek baru laku batu pecah seharga Rp250 ribu perkubik .”

Itulah tantangan disampaikan Margaretha (53) dengan mata berkaca-kaca kepada sejumlah jurnalis saat mengunjungi kediamannya di Desa Meko, Kecamatan Pamona Barat , Kabupaten Poso, Sabtu (10/9).

Ia berpikir itulah menjadi simpanan mereka bersama sepuluh rekan lainnya sesama profesi pemecah batu. Sejak sawahnya terendam air dan tidak dapat diolah.

Margaretha merupakan ibu dari tiga orang anak ini, adalah salah satu dari sekian petani terdampak pengoperasian bendungan PLTA Poso Energy 515 Megawatt, di Desa Sulewana, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah  (Sulteng) tahun 2020 silam.

Sejak sawahnya dengan luasan sekitar 2 hektare terendam air dan tidak dapat diolah, ia terpaksa beralih profesi menjadi pekerja serabutan sebagai buruh tani ataupun pemecah batu.

Apalagi pasca suaminya tidak dapat bekerja, sebab kondisi kesehatan mulai turun dan terganggu dua tahun terakhir. Praktis dialah menjadi tulang punggung keluarga dan tumpuan bagi anak bungsunya masih menempuh pendidikan.

Tentu beban kerjanya semakin berat, selain mengurus keperluan rumah tangga dan merawat suaminya, ia juga harus berjibaku dengan pekerjaan sebagai pemecah batu. Pemecah batu penuh risiko, seperti mata terpercik dari batu atau tangannya tertumbuk martil.

Tidak mudah menerima kenyataan, tapi itu terpaksa dilakoninya demi mengepulkan asap dapur dan membiayai anaknya masih menempuh pendidikan di salah saatu sekolah menengah atas , Kabupaten Poso.

Bahkan dampak dari terendamnya air danau Poso terhadap sawahnya, anak keduanya yang sedang menempuh sekolah pendidikan pelayaran di Jakarta harus berhenti, akibat tidak ada biaya. Kini anak keduanya tersebut kembali ke kampung halaman membantu dirinya.

Padahal, sebelum sawah mereka terendam air, ia masih bisa membiayai anaknya tersebut dari hasil mengolah sawah. Kini sawah mereka tidak lagi dapat diolah, jadi buruh harian atau pemecah batu jadi pilihan terakhir.

Jadi pemecah batu itu tidaklah mudah, ia harus mengumpulkan batu dari sungai, lalu ditumpuk pada satu tempat. Setelah terkumpul banyak, barulah batu-batu itu dipecah secara manual dengan menggunakan martil.

Untuk mencapai batu pecah sebanyak 1 kubik , tidaklah dikerja sehari atau dua hari. Paling lama dua pekan. Setelah mencapai 5 kubik barulah diangkut.

Biasanya pekerjaan memecah batu itu, dia lakukan sepekan dua kali. Hari lainnya digunakan sebagai buruh harian.

Meskipun dana kompensasi atas terendamnya sawah miliknya telah diganti untung oleh PT Poso Energi, itu tidak membantu perekonomian keluarga. Sebab kompensasi itu dibayarkan untuk menutup hutang-hutang selama 3 tahun terakhir dan membelikan motor bagi anak bungsunya yang masih bersekolah SMA tersebut dan sisanya dipakai untuk biaya hidup sehari-hari.

Rep: IKRAM/Ed: NANANG