Resmi memakai baju kebesaran Partai Keadilan Sejahtera (PKS), memantapkan tekad Ketua Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Kota Palu, Syahrudin Ariestal Douw, untuk maju pada konstetasi pemilihan legislatif (pileg) 2024 mendatang.

Jika tak ada aral melintang, pria yang akrab disapa Etal ini akan menjadi salah satu calon legislatif (caleg) PKS Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dari Daerah Pemilihan (Dapil) Sulawesi Tengah (Sulteng).

Bagi Etal, memilih organisasi politik sebagai sarana berjuang adalah langkah tepat untuk memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan.

“Karena sudah 11 tahun berjuang lewat organisasi sosial, tapi problem klasiknya adalah kebijakan politik yang tidak dikawal maksimal oleh para politisi saat ini,” kata Etal kepada media ini, Ahad (02/04), mengungkapkan alasannya memilih jalur politik.

Tak hanya terkait pilihan jalur perjuangan yang akan ditempuhnya, Etal juga menyampaikan alasan utama kenapa ia memilih PKS sebagai organisasi politik yang akan dijadikannya sebagai sarana perjuangan.

PKS, kata dia, adalah organisasi politik yang lahir setelah orde baru lengser dan hingga saat ini, PKS lebih banyak memilih di luar rezim daripada mendukung rezim berkuasa.

“PKS menurutku adalah partai oposisi yang benar-benar memperlihatkan daya kritisnya untuk memperjuangkan rakyat,” tegasnya.

Putra bungsu yang lahir dari rahim Murniati Timumun, seorang ibu yang gigih berjuang dengan usaha jualan kue hingga menamatkan sekolah anak-anaknya.

Berlatar belakang keluarga miskin dan yatim sejak kecil telah menempa kehidupannya menjadi sosok yang selalu memandang “lebih” kepada kaum tertindas.

Kini, bapak dari 2 orang anak itupun memberanikan diri tampil kembali dalam gelanggang politik Sulawesi Tengah, setelah kandas menjadi senator di era 2014-2019 lalu.

Etal, Sosok Familiar di Kalangan Orang Tertindas

Etal cukup familiar di banyak kalangan. Selain karena dunia aktivis yang digelutinya, ia juga seorang advokat muda yang sering beracara di dunia peradilan. Jika ada kasus perampasan tanah milik petani, maka bisa dipastikan, dialah salah satu pengacaranya.

Namun sebelum berkecimpung di dunia advokat, Etal adalah aktivis yang aktif melakukan advokasi kasus-kasus perampasan tanah rakyat atau sengketa agraria oleh perusahaan perkebunan dan pertambangan, ataupun kasus-kasus HAM.

Kepada awak media ini, ia menuturkan sebuah pengalaman paling tragis yang dialaminya selama bergelut membela kasus rakyat.

“Saya pernah merasakan diintimidasi secara fisik dengan senjata tajam, bahkan diintimidasi melalui cara-cara supranatural alias di-nepu sampai bengkak kaki, pernah juga bengkak leher,” ungkapnya.

Etaltelah melakukan kerja-kerja sosial dan advokasi di Sulawesi Tengah sejak tahun 2003 -2017. Hal inilah yang membuatnya banyak memiliki kolega di berbagai strata sosial masyarakat.

Hal ini diungkapkan seorang buruh pabrik bernama Firman. Menurut Firman, jika ketemu, kesan yang ditinggalkan dia adalah orang biasa saja walaupun banyak orang menilai dia luar biasa.

“Atau mungkin karena dia tidak eksklusif itu yang membuatnya sangat luar biasa,” kata Firman.

Hal senada juga dikatakan Moh Tauhid, rekan sesama aktivis di Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulteng.

Bagi Tauhid, Etal boleh dikata salah satu generasi yang lahir bukan karena orang tuanya politisi atau dari kalangan elit. Dia (Etal) lahir dari kalangan masyarakat biasa.

Menurutnya, Etal telah memperlihatkan kualitas dan konsistensinya dalam perjuangan HAM dan keadilan sehingga patut dipertimbangkan dan didorong menjadi legislator di senayan.

“Itu karena kualitasnya, bukan karena isi tas-nya. Jika kita mau cari perwakilan muda, berkualitas dan konsisten antara ucapan dan tindakan serta mewakili generasi milenal, maka Etal adalah jawabannya,” tegasnya.

Aktivis Jatam lainnya, Susanti, juga berkata sama. Bagi wanita ini, Etal adalah sosok inspiratif, tidak suka marah-marah, tapi dia selalu memikirkan bagaimana cara memberi pelajaran kepada penguasa yang melanggar hukum dan etik.

“Saya pernah melihat dia ditawarkan sesuatu yang menggiurkan, tetapi dia menolak dengan cara yang tidak frontal. Dia sampaikan penolakan itu dengan bahasa bahwa jika dia menghentikan pelanggaran hukum itu maka urusan dengan dia selesai dan yang bapak bawa itu simpan saja. Intinya, dia tidak mau menegosiasikan advokasi itu dengan tujuan mendapat keuntungan materi. Itulah hal yang menginspirasi buat saya,” ujar Susanti. (IKRAM)