PALU- Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi pengadaan jaringan internet di Kabupaten Tojo Una-Una (Touna), Sulawesi Tengah, digelar di Pengadilan Negeri Kelas 1A Tipikor/PHI Palu, Senin (16/12)
Dalam sidang tersebut, penasihat hukum terdakwa menyampaikan protes dan keberatan kepada majelis hakim terhadap ahli dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Touna pada sidang tersebut.
M. Wijaya, penasihat hukum terdakwa Wiwin Trenggana menyatakan bahwa ahli dari Inspektorat Touna tidak memiliki kewenangan melakukan perhitungan kerugian negara sesuai aturan.
“Kami tidak menerima ahli yang dihadirkan JPU pada sidang kali ini. Sebab, kapasitas ahli dari Inspektorat Tojo Una-Una bertentangan dengan aturan,” tegas Wijaya di hadapan majelis hakim.
Keberatan tersebut muncul karena JPU menggunakan perhitungan kerugian negara dibuat oleh dua ahli dari Inspektorat Touna. Dan hal ini sebut Wijaya, melanggar ketentuan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2016.
“SEMA Nomor 4 Tahun 2016 dengan jelas menyatakan satu-satunya lembaga yang berwenang menghitung kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Instansi lain, seperti Inspektorat, tidak memiliki kewenangan untuk menyatakan adanya kerugian keuangan negara,” papar advokat yang juga Direktur Kantor JAYA & JAYA LAW FIRM tersebut.
Dalam poin ke-6 SEMA tersebut disebutkan, BPK memiliki kewenangan konstitusional untuk menilai dan menyatakan kerugian negara. Sementara itu, instansi seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atau Inspektorat, hanya berwenang melakukan audit pengelolaan keuangan negara, tetapi tidak dapat menetapkan adanya kerugian negara.
“Dalam hal tertentu, hakim dapat menilai adanya kerugian negara berdasarkan fakta persidangan. Namun, legitimasi untuk menyatakan kerugian secara resmi tetap berada di tangan BPK,” tambah Wijaya yang juga Ketua Pusat Bantuan Hukum (PBH) Alkhairaat.
Definisi kerugian negara menurut Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 adalah kekurangan uang, surat berharga, atau barang yang nyata dan pasti jumlahnya akibat perbuatan melawan hukum.
Penetapan kerugian menurut Wijaya, harus dilakukan oleh lembaga yang memiliki kewenangan, seperti BPK atau akuntan publik yang ditunjuk.
“Mestinya, hitungan kerugian negara yang dipakai JPU berasal bukan dari Inspektorat Touna. Jika menggunakan Inspektorat, ini cacat hukum,” tegas Wijaya sembari menambahkan hal ini berpotensi membuat dakwaan terhadap kliennya menjadi tidak sah.
Sebagai informasi, kasus dugaan korupsi ini menyeret dua terdakwa, yakni Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek, Mohamad Amin, dan Wiwin Trenggana, Direktur CV Dian Pratama.
Proyek yang menjadi pokok perkara adalah pengadaan sarana informasi dan jaringan internet di 10 kantor Balai Penyuluh Pertanian (BPP) Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Touna.
Reporter : IKRAM/Editor: NANANG