BUOL – Upaya panen paksa dan pemuatan Tandan Buas Segar (TBS) kembali dilakukan oleh sekelompok orang yang mengaku sebagai buruh kebun PT Hardaya Inti Plantations (HIP).

Peristiwa itu terjadi di lokasi perkebunan plasma Koperasi Awal Baru, Desa Balau, Kecamatan Tiloan, Kabupaten Buol, Selasa (07/05) pagi. Kejadian juga disertai penganiayaan kepada tiga petani plasma, Aris, Masnia, dan Mada Yunus.

Pengurus Forum Petani Plasma Buol, Parisia Ain, menuturkan kronologi penganiayaan yang dialami tiga petani tersebut.

Ia mengatakan, sekelompok orang yang mengaku buruh PT. HIP memuat hasil panen paksa TBS di truk jonder yang kemudian coba diturunkan kembali oleh para petani.

“Disitulah kelompok buruh dan officer kebun PT. HIP mendorong dan menarik paksa tiga petani hingga terjatuh dari atas bak truk jonder dan mengakibatkan cedera,” ungkapnya.

Menurut Parisia, Aris mengalami cedera di kedua lengannya dan paha, karena saat didorong, tubuhnya sempat terbentur besi jonder hingga terpental jatuh ke tanah.

“Ia juga dikeroyok oleh sekelompok buruh, bagian dadanya dipukul oleh salah satu security perusahaan. Ibu Masnia didorong turun dari atas truk jonder kemudian dikeroyok oleh sejumlah buruh dengan cara dijambak hingga kerudungnya terlepas lalu kedua lengannya ditarik-tarik,” tuturnya.

Sedangkan Mada Yunus, lanjut dia, terkena buah sawit saat seorang pemanen memaksa melempar TBS ke atas bak jonder kemudian ia didorong sampai jatuh tertelungkup di tanah dan mengakibatkan kakinya bengkak tidak dapat berjalan hingga mengalami pusing.

Para petani pun ingin melaporkan kepada Kepolisian Resor Buol, atas kejadian penganiayaan yang terjadi di kebun plasma yang saat ini sedang disengketakan tersebut.

Namun, kata dia, saat dikonfirmasi oleh petani kepada pihak officer kebun maupun para buruh, mereka mengaku tindakanya bukan atas perintah pihak PT HIP, tetapi keinginan sendiri karena ingin mencari penghasilan.

“Ini juga senada dengan pernyataan pihak security perusahaan yang berada di lokasi,” katanya.

Parisia menyayangkan tindakan ini karena aksi sekelompok buruh ini sebelumnya sudah dilaporkan kepada pihak Polres Buol, termasik ke PT. HIP dan pemerintah melalui surat pemberitahuan oleh koordinator karyawan.

“Namun tidak ada upaya menghentikan agar tidak terjadi konflik antara kelompok buruh dan para petani,” sesalnya.

Seharusnya, kata dia, jika memang kelompok buruh ini dipekerjakan dan diupah oleh PT HIP, maka hubungan ketenagakerjaan adalah dengan pihak perusahaan dan membutuhkan peran aktif Dinas Ketenagakerjaan setempat.

“Karena dalam penghentian sementara operasional kebun ini, petani plasma menuntut haknya dengan mitra inti, PT HIP, maka buruh dapat menempuh penyelesaian secara hubungan ketenagakerjaan dengan pihak perusahaan pula. Bukan justru melakukan pemanenan paksa seperti ini di kebun milik masyarkat, apalagi pihak perusahaan tidak mengakui memerintahkan buruhnya untuk pemanenan tersebut,” kesalnya.

Patrisia juga menyatakan kecewa kepada pemerintah setempat yang lamban dan seolah melakukan pembiaran atas masalah yang sedang terjadi. Menurutnya, pembiaran ini sangat berbahaya dan dikhawatirkan dapat memicu terjadinya konflik horizontal yang lebih parah lagi.

“Pemerintah daerah seharusnya dapat mengambil langkah yang cepat untuk melindungi hak-hak para pemilik lahan, begitu pula hak ketenagakerjaan pihak buruh perusahaan. Tentu saja yang paling dirugikan ialah pihak patani plasma yang selama ini tidak pernah mendapat penghasilan apapun dari kebun plasma, dari kemitraanya dengan PT HIP,” katanya.

Sejak tanggal 8 Januari 2024 hingga saat ini, operasional kebun plasma di Awal Baru (Desa Balau dan Desa Maniala) bersamaan dengan tiga desa lainnya dihentikan sementara oleh pihak petani lantaran kerjasama-kemitraan dengan pihak mitra inti yakni PT HIP dinilai telah merugikan para petani pemilik lahan.

Petani menuntut tidak adanya bagi hasil penjualan TBS atau Sisa Hasil Usaha (SHU) yang mereka terima, belum ada ganti rugi atas pengalihan tanaman produktif kebun mereka sebelum ditanami sawit, data keanggotaan yang dimanipulasi karena banyak pemilik lahan tidak masuk dalam SK Bupati tentang CPCL.

“Selama tuntutan-tuntutan itu belum diselesaikan dalam perundingan yang saling terbuka, adil dan menguntungkan antara pihak petani dengan PT. HIP dan pemerintah, maka petani akan terus melakukan penghentian atas kebun plasma,” tegas Parisia. *