MORUT – Masyarakat Desa Bunta, Kecamatan Petasia Timur, Kabupaten Motowali Utara, membantah keras statemen Humas PT. Agro Nusa Abadi (ANA) yang berkelit atas perampasan sepihak lahan warga dan mengaku telah memberikan ganti rugi kepada masyarakat.
Koordinator Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) Sulteng, Eva Susanti Bande mengaku, setelah membaca pernyataan Humas PT. Agro Nusa Abadi di edisi media ini sebelumnya, FRAS meminta keterangan masyarakat yang menjadi korban perampasan lahan oleh PT ANA. Dalam pengakuan warga, jelas membantah statement dari Humas PT ANA, yang menyatakan bahwa telah mengganti rugi lahan masyarakat Desa Bunta.
“Tanah kami belum pernah di ganti rugi namun kami di berikan Tali Asi yang kami tidak tahu apa maksud dan tujuannya. Bahkan kami sempat punya kesepakatan perjanjian 80/20 yang sampai detik ini belum terealisasi, namun itu yang selalu di jadikan senjata perusahaan PT ANA,” ucapnya Eva mengutip pengakuan warga Bunta.
Selanjutnya, kata Eva, warga mengaku sebagai petani yang notabenenya pemilik lahan tidak pernah di berikan arsip perjanjian yang selalu di jadikan alat untuk membela diri bagi perusahaan. Bahkan sangat dipastikan, PT. ANA beraktivitas tanpa mengantongi IUP – B dan tidak memiliki ijin Hak Guna Usaha (HGU), namun bisa berproduksi kurang lebih sepuluh tahun.
Menurut Eva, masyarakat yang di korbankan sudah dari tahun ke tahun merasakan penderitaan dari aktivitas perusahaan sawit milik Astra Agro Lestari ini. Yang lebih memperihatinkan, ketika masyarakat berjuang mempertahankan lahannya, perusahaan menggunakan aparat kepolisian untuk mengintimidasi dan mengkriminalisasi masyarakat.
“Bahkan masyarakat mengaku selalu dilaporkan ke pihak yang berwajib terkait pencurian buah sawit, sementara masyarakat memiliki alas hak dan asal usul tanah yang jelas seperti yang telah di atur dalam UU Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960. Namun perusahaan mengklaim tanah warga, disini ada yang aneh kenapa pemerintah terkait tidak bisa menertibkan perusahaan yang tidak memiliki ijin HGU itu,” pungkasnya.
Dipenghujung Eva menyarankan, seharusnya posisi aparat Kepolisian berada di tengah-tengah, tidak cenderung menjadi tameng perusahaan.
“Kepolisian itu dibiayai dari seragam hingga senjatanya dari pemungutan pajak masyarakat, justru akan menjadi aneh apabila Kepolisian hanya digunakan oleh perusahaan sebagai alat penindas masyarakat,” tandasnya Eva. (YAMIN)