PALU – Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) dari Daerah Pemilihan V (Poso, Morowali-Morowali Utara, Tojo Una-Una), Muhaimin Yunus Hadi, mengaku pesimis dengan upaya penanganan jaringan Mujahidin Indonesia Timur) yang dilakukan aparat kepolisian.
Pada pertemuan yang berlangsung tertutup antara DPRD Sulteng dengan Kapolda dan Danrem, beberapa waktu lalu, ia melihat dari arah pembicaraan bahwa upaya yang akan dilakukan lebih banyak pada penyekatan wilayah untuk membatasi ruang gerak sisa-sisa kelompok MIT tersebut.
“Saya pesimis atas apa yang dihasilkan nanti dua bulan ke depan, karena targetnya mereka ini kan dua bulan ke depan selesai, minimal ada satu dua orang yang bisa ditangkap. Tapi sebenarnya bukan itu yang kami harapkan di Kabupaten Poso, tapi bagaimana penanganan secara menyeluruh bukan dalam hal sekat-menyekat atau penyempitan ruang gerak teroris,” ungkap Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu.
Untuk itu, ia sendiri berpendapat agar operasi pengamaman di Poso itu diserahkan sepenuhnya kepada TNI, mengambil alih sepenuhnya dari Polri.
“Mereka (kelompok MIT) ini kan bergerilya, tentu kita harus pakai yang namanya anti gerilya dan itu cuma ada di tubuh TNI, bukan Polri. Justru itu yang saya bilang dengan adanya penjelasan soal luas wilayah yang begitu luas, ya sudah serahkan saja kepada TNI,” tegasnya.
Ia berharap tidak ada ego sektoral dalam penanganan Poso, karena ini menyangkut untuk kemaslahatan kita semua, baik yang ada di Poso, Sigi maupun Parimo.
“Jadi memang seharusnya diperbanyak pasukan dari TNI, Tahun 2015 lalu waktu kami masih jadi anggota DPRD Poso, menghadap ke presiden untuk menambah pasukan lewat Menteri Pertahanan,” tuturnya.
Buktinya, lanjut dia, pasukan yang diminta itu berhasil melumpuhkan pimpinan MIT Santoso bersama beberapa anggotanya.
“Itu fakta, cuma kan mereka posisinya cuma membantu yang harus mengikuti komando kepolisian. Jadi intinya harus TNI, Polri tidak sanggup lagi karena memang ini tidak sesuai dengan keahliannya,” tekannya.
Padahal, lanjut dia, negara sendiri sudah menyampaikan bahwa MIT berafiliasi dengan ISIS dan Alqaedah. Artinya, sudah mengacam negara dan sudah terbukti membabi buta.
“Jadi ini bukan hanya melihat dari sisi agama lagi, karena korban dari masyarakat juga ada dari agama hindu, kristen dan islam,” tambahnya.
Ia juga menyinggung pernyataan aparat terkait beberapa pondok pesantren yang disinyalir ada kegiatan yang berbau radikalisasi. Hal itu, kata dia, justru menunjukkan bahwa aparat memang tidak profesional dalam bekerja.
“Karena implementasi Undang-Undang Terorisme itu, kalau ada yang dicurigai maka harus diperiksa dan selama ini mereka yang dicurigai juga tidak ada dilakukan pemeriksaan. Ini kan sama juga ada pembiaran dalam konteks upaya deradikalisasi,” katanya.
Ia bahkan kurang yakin mengenai adanya kabar tentang keinginan dari sebagian kelompok tersebut untuk menyerahkan diri. Menurutnya, mereka tidak akan melakukan itu karena sudah nyata memegang prinsip hidup mulia atau mati syahid.
“Artinya ini sudah menjadi perang idiologi. Jadi kalau mau menyerahkan diri secara cuma-cuma saya rasa mereka tidak akan melakukan itu,” tandasnya.
Ia sendiri mengaku akan sangat kecewa jika usulan ini tidak diindahkan, karena masalah di Poso pastinya tidak akan tuntas jika ditangani oleh polisi.
“Dari Tahun 2008 sampai sekarang tidak selesai. Karena minta maaf selama ini kami menganggap ini semua hanya proyek Polri,” tutupnya. (RIFAY)