OLEH : Efendi Kindangen*

Perombakan kabinet Prabowo Subianto mengundang banyak tanya. Sorotan paling terang jatuh pada satu hal: mundurnya Sri Mulyani Indrawati dari Kursi Menteri Keuangan, digantikan oleh Purbaya Yudho Sadewo.

Bagi publik, ini lebih dari sekadar rotasi jabatan. Ini seperti pertandingan final antara dua kubu. Di satu sisi, para pengagum Sri Mulyani. Di sisi lain, pendukung Purbaya.

Lantas, apa yang sebenarnya terjadi? Ini bukan drama “baik vs jahat”, melainkan pertarungan dua narasi besar tentang cara memimpin negeri.

Dua DNA yang Berbeda: Ilmuwan vs. Petarung

Sri Mulyani dan Purbaya mewakili “DNA” kepemimpinan yang berbeda.

· Sri Mulyani: Sang Ilmuwan. Ia adalah pemimpin dengan pendekatan technokrat. Baginya, kebijakan harus berdasar data, aturan jelas, dan logika ekonomi. Reputasinya dibangun di panggung global sebagai “jaminan” stabilitas ekonomi Indonesia.

Dalam acara perpisahannya, ia berpesan: “Saya titipkan APBN ini… untuk betul-betul dijaga. APBN adalah instrumen yang sangat powerful, tetapi juga sangat berbahaya.” Pesan ini adalah wasiat untuk menjaga disiplin fiskal, sebuah ciri khas narasi technokrat.

· Purbaya Yudho Sadewo: Sang Petarung. Dengan latar intelijen dan karirnya sebagai staf khusus presiden, Purbaya adalah operator politik. Keahliannya adalah mengelola kekuasaan dan menyelesaikan masalah politik di balik layar.

Saat konfirmasi di DPR, pernyataannya berfokus pada eksekusi perintah: “Tugas saya nanti adalah menjalankan amanah Bapak Presiden…” Ini mencerminkan pendekatan seorang loyalis yang tugasnya memastikan agenda pimpinan terlaksana.

Pergantian ini adalah sinyal jelas: Prabowo memilih untuk lebih mengandalkan narasi konsolidasi politik ketimbang narasi kredibilitas technokrat.

Respons Pasar: Rupiah Melemah dan Investor Khawatir

Pilihan politik ini langsung beresonansi di pasar keuangan, yang dikenal sangat peka terhadap ketidakpastian.

· Rupiah Tertekan. Nilai tukar Rupiah langsung melemah signifikan pasca pengumuman, menjadi salah satu mata uang terlemah di Asia. Ini adalah reaksi nyata investor asing yang melakukan wait and see.

· Modal Melarikan Diri. Terjadi capital outflow atau aliran modal keluar dari pasar Surat Utang Indonesia (SUN).

Investor asing mempertimbangkan risk premium yang baru setelah hilangnya figur Sri Mulyani yang menjadi jangkar kredibilitas.

· Peringatan dari Lembaga Pemeringkat. Fitch Ratings menyatakan akan “memantau perkembangan kebijakan fiskal Indonesia” pasca pergantian ini.

Mereka menegaskan bahwa kredibilitas fiskal adalah kekuatan kunci peringkat Indonesia—sebuah kekuatan yang lekat dengan nama Sri Mulyani.

Reaksi pasar ini membuktikan adanya trade-off. Kepercayaan pasar, yang diraih dengan susah payah, adalah harga yang harus dibayar, setidaknya dalam jangka pendek, untuk pilihan konsolidasi politik ini.

Mengapa Kubu “Hero” Selalu Bermunculan?

Mengapa masyarakat terbelah, seolah memuja dua “hero” yang berbeda? Ini adalah gejala alamiah.

1. Penyederhanaan. Otak kita sulit mencerna kebijakan rumit. Lebih mudah mengubahnya jadi cerita sederhana: “Sang Penjaga Ekonomi” vs “Sang Penjaga Kekuasaan”.

2. Identitas Diri. Memilih kubu adalah cara kita menunjukkan identitas. Mendukung Sri Mulyani berarti percaya tata kelola bersih. Mendukung Purbaya berarti paham bahwa politik butuh negosiator tangguh.

3. Efek Kamar Gema. Media sosial menjebak kita dalam ruang gema. Kita hanya mendengar pendapat yang sesuai, sehingga keyakinan makin menguat dan kubu lain dilihat sebagai “lawan”.

Penutup: Melampaui Pertarungan Hero, Menjaga Substansi

Pertarungan dua narasi ini adalah bagian dari demokrasi yang dinamis. Ia menunjukkan bahwa Indonesia tidak dijalankan oleh satu cara pandang tunggal.

Tugas kita sebagai publik bukanlah sekadar memilih “hero” untuk dipuja, tetapi melampaui narasi hitam-putih tersebut.

Kita perlu terus kritis mengawasi, memastikan bahwa apapun narasi yang diambil—technokrat atau politikus—pesan Sri Mulyani tetap terjaga: APBN yang powerful dan berbahaya itu harus dikelola dengan niat, tujuan, dan cara yang benar, demi rakyat Indonesia.

*Penulis adalah Pendiri Pesantren Lansia Emas (Edukasi untuk Masyarakat Senja) dan Komunitas Pembelajaran Seumur Hidup