PALU – Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu, Dr Sahran Raden, menilai kurang tepat jika DPRD Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) memanggil pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk rapat dengar pendapat (RDP).
Mantan anggota KPU Sulteng dua periode ini menjelaskan, dari aspek tugas pelaksanaan Pilkada, KPU Sulteng tidak bertanggungjawab kepada Pemerintah Provinsi Sulteng.
“KPU Sulteng adalah organ kelembagaan penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, mandiri dan independent. Sesuai kontitusi, KPU Sulteng bertanggung jawab kepada KPU RI,” jelas Sahran Raden, Selasa (03/12), menyikapi RDP yang dilakukan DPRD bersama KPU Sulteng untuk membahas rendahnya partisipasi pemilih pada Pilkada serentak 2024, Senin kemarin.
Sahran menambahkan, KPU Sulteng bukanlah organ pemerintah daerah. Mestinya, kata dia, jika ingin menanyakan berbagai hal terkait tahapan Pilkada, maka DPR RI melalui komisi II yang memanggil KPU RI.
“Karena memiliki hubungan mitra dalam penyelenggaraan Pemilu di Indonesia,” jelasnya.
Bahkan, kata dia, saat inipun kurang tepat jika RDP dilakukan, karena proses rekapitulasi penghitungan suara sedang berlangsung.
“Khawatir jangan sampai KPU Sulteng terganggu dalam pelaksanaan proses rekapitulasi,” katanya.
Menurutnya, RDP boleh saja dilakukan oleh DPRD, sepanjang hanya untuk klarifikasi, bukan pertanggungjawaban. Meski begitu, pelaksanaannya tetap harus dilakukan setelah selesai proses rekapitulasi suara, agar KPU Sulteng dapat menghitung tingkat partisipasi pemilih.
“Menghitung partisipasi pemilih itu ada rumusnya. Yaitu DPT ditambah DPTb ditambah data pemilih pindahan dibagi 100 persen dikali pemilih yang mencoblos,” terangnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, tingkat partisipasi pemilih dari pemilu ke pemilu, atau dari pilkada ke pilkada memang selalu dinamis. Dinamika itu terjadi karena berbagai faktor, antara lain aspek adminsitrasi teknis pilkada, mulai daftar pemilih, distribusi C pemberitahuan atau adanya pemilih yang belum memuliki KTP elektronik.
“Dari aspek pemilihnya, ada yang enggan datang memilih karena tidak punya pilihan yang tepat. Saat voting day, masyarakat lebih memilih bekerja atau yang bersangkutan tidak ada di tempat karena pindah, perubahan status dan lainnya,” katanya.
Selanjutnya, kata dia, terkait adanya pelanggaran pemilihan di TPS, maka saat rekapitulasi di PPK dan KPU kabupaten serta provinsi, mekanisme penyelesaiannya sudah diatur dalam KPU 17 Tahun 2024 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara Pemilihan dan PKPU Nomor 18 Tahun 2024 tentang Rekapitulasi Penghitungan Perolehan Suara dan Penetapan Calon Terpilih.
“Jadi kerangka hukum pilkada melalui UU 10 Tahun 2016 telah mempertegas kamar-kamar penyelesaian sengketa pemilihan. Maka penegakan hukumnya dilakukan melalui kamar-kamar penyelesaian sengeketa tersebut,” tambahnya.
Menurutnya, tingkat partisipasi pemilih yang rendah tidak mempengaruhi legitimasi hasil pilkada.
“Karena memilih adalah hak konstitusional. Apakah pemilih mau memilih atau tidak memilih, itu hak pemilih yang dilindungi oleh konstitusi,” jelasnya.
Selain itu, kata dia, tingkat partisipasi pemilih juga bukan hanya KPU sebagai aktor utamanya, tetapi juga ada paslon, tim kampanye, parpol, pemerintah dan actor-aktor lainnya.
Senin kemarin, DPRD Sulteng mengundang KPU Sulteng dalam rangka RDP, meminta penjelasan terkait rendahnya partisipasi pemilih.
Menurut Wakil Ketua I DPRD Sulteng, Aristan, lebih dari 600 ribu warga yang tidak menggunakan hak pilihnya pada Pilkada serentak 2024 ini.
Aristan mengungkapkan, meskipun KPU telah melakukan sosialisasi dan Dukcapil memaksimalkan perekaman KTP elektronik, masih banyak pemilih yang tidak dapat menyalurkan suaranya.
Sementara itu, Ketua KPU Sulteng, Risvirenol, menanggapi data terkait rendahnya partisipasi pemilih yang beredar saat ini belum resmi, melainkan asumsi dari pihak luar.
KPU masih menghitung partisipasi pemilih berdasarkan Daftar Pemilih Tetap (DPT), Daftar Pemilih Tambahan (DPTb), dan Daftar Pemilih Khusus (DPK).
“Hasil resmi akan diumumkan setelah proses perhitungan selesai,” kata Risvirenol. (RIFAY)