Tanah kita tidak seperti dulu, kalimat itu memulai bincang-bincang dengan Surasno Palanakan (44), Kepala Balai Penyuluh Pertanian (BPP) Kecamatan Banggai Tengah, Senin (25/09).

Hari Tani Nasional tanggal 24 September mengantar percakapan kami tentang kondisi pertanian di Kabupaten Banggai Laut (Balut).

Tanah di Balut tidak lagi sama seperti dulu. Dahulu para orang tua membuka lahan dari rimba, sehingga humus tanah tinggi. Sekarang, humus tanah berkurang, karena tanah atau lahan dipakai terus menerus.

“Itulah mengapa harus ada teknologi pertanian agar tanah tetap dalam kondisi baik,” ujar Surasno yang menjadi penyuluh sejak tahun 2004 sebagai tenaga honorer.

Meski kondisi tanah tidak sebaik dulu, tetapi kondisi pertanian sudah banyak berkembang, terutama dalam desa-desa cakupan BPP Banggai Tengah. Namun, secara keseluruhan, di Banggai Laut, komoditi perkebunan jauh lebih mendominasi dibandingkan dengan pertanian.

Holtikultura dan pangan lokal ubi banggai, keladi, ubi jalar adalah komoditi pertanian yang sejak dulu dikembangkan oleh petani di tanah Banggai. Komoditi-komoditi pertanian dan perkebunan di daerah ini perlu didorong agar terterintegrasi dengan teknologi pertanian.

Cengkih, kakao, kelapa, lebih banyak ditemukan. Di Banggai jarang terdapat tanaman sayur-sayuran. Para penjual sayur di pasar mendapatkan pasokan dengan jumlah besar dari Kabupaten Banggai. Di Balut sendiri, hanya ada skala kecil untuk petani sayur. Itu pun sayur yang umum ditemui, seperti bayam, kacang panjang, dan lainnya.

Surasno mengurai berbagai faktor yang mempengaruhi Balut belum dapat menyediakan sayuran untuk kebutuhan daerah sendiri. Tidak adanya lahan terintegrasi, atau lahan luas untuk pengembangan tanaman sayuran, yang menyebabkan sayuran hanya ditanam pada lahan yang tidaklah besar.

Surasno Palanakan (FOTO: media.alkhairaat.id/Iker)

Sistem irigasi juga sulit dilakukan. Berbeda dengan beberapa desa yang memiliki sistem pengairan yang baik. Ketersediaan sumber bibit dan pupuk pun menjadi alasan kuat petani enggan menanam sayuran.

“Kalau cabe (cabai) ada 1000 pohon, tapi irigasinya tidak bagus, lalu harus mengangkat air, itu bagaimana? Akan sulit. Tapi sebenarnya sudah ada sekelompok orang, juga individu yang kembangkan sayuran di Banggai Tengah, anak muda, beberapa KWT (Kelompok Wanita Tani) hanya saja baru dalam skala kecil,” jelas Surasno.

Penggunaan teknologi pertanian, seperti pembuatan irigasi, memungkinkan ditanamnya sayuran. Tetapi hadirnya teknologi itu menyebabkan biaya yang dikeluarkan petani menjadi lebih banyak.

Selain itu, petani juga belum terbiasa dengan kultur budidaya dan harga benih yang mahal, termasuk pula pupuk. Seringkali ketika para penyuluh bertemu petani, petani selalu bertanya tentang bantuan pemerintah untuk pengadaan benih tersebut.

Narasi tentang agribisnis, tentang budidaya suatu tanaman harus dibangun dan terus menerus disampaikan kepada para petani, bahwa pengembangan sebuah tanaman akan membutuhkan modal. Tetapi tentu saja hal tersebut tidak mudah dan membutuhkan waktu panjang.

Jika sistem pengairan dan pemanfaatan teknologi pertanian dapat menjawab tantangan ketersediaan sayuran, tetap saja tidak semua jenis sayuran dapat tumbuh di tanah Banggai yang bagus ini, sebagaimana lirik lagu Banggai Tano Monondok.

Sayuran yang tumbuh di dataran tinggi dengan suhu rendah tentu saja akan sulit hidup, kata Surasno. Meski pada praktiknya ia secara pribadi dan pihak balai belum pernah mencoba budidaya tanaman-tanaman itu seperti kol, daun bawang, bawang, wortel dan lainnya.

Keengganan petani untuk menanam sayuran, atau tanaman pangan, dan lebih memilih menanam komoditi perkebunan, seharusnya tidak menjadi persoalan. Sebab pertanian itu komoditas pilihan, dan petani punya pilihan.

“Masa petani tidak tanam sayur, kita paksa? Kalau mindset saya berpikir, kenapa bukan tanaman yang ada saja, seperti kelapa, yang sudah turun temurun dilakukan oleh petani kita, yang sudah sesuai dengan kultur dan kebiasaan petani kita, bukan itu yang kita genjot untuk meningkatkan hasil panen?”

Jika kemarin-kemarin buah kelapa kering yang jatuh 4 biji, maka menjadi tugas seluruh stakeholder untuk meningkatkan produksi menjadi 10 biji. Produksi yang meningkat, memberikan petani lebih banyak penghasilan, sehingga dapat memenuhi kebutuhan akan sayuran dengan membeli di Pasar.

“Tidak masalah menurut saya kalau sayurnya dari Luwuk. Jangankan Luwuk, dari Thailand, dari Singapura, itu bisa saja, namanya juga pasar, segala barang ada di situ dan kita punya pelabuhan. Sehingga tidak usah phobia dengan sayur dan buah yang diperoleh dari luar Banggai. Sekali lagi, jika petani tidak ingin menanam kangkung misalnya, kol, dan lainnya, tidak masalah.”

Memberikan pilihan seluas-luasnya kepada para petani sudah selayaknya. Petani Balut tidak harus menanam semua tanaman di daratan yang hanya 5%, jauh lebih kecil dari luas lautan.

“Ikan itu bagian dari pangan, bagian dari makanan. Kita punya ikan banyak lalu kita tukar dengan terung dan sawi, tomat, apa masalahnya?”

Berbeda halnya dengan pangan lokal. Di Banggai Tengah sendiri, pangan lokal termasuk ubi banggai, mengalami penurunan.

Menurut Surasno, butuh sebuah program khusus untuk mengangkat pangan lokal di tengah isu krisis pangan global. Kekeringan mulai menjalar di berbagai tempat di Indonesia. Kerawanan pangan pasti akan terjadi, terlebih tidak ada sawah di Banggai laut.

“Nah itu perlu digaungkan seluruh stakeholder yang ada, bahwa pangan lokal adalah bagian dari kita. Orang tua dulu itu kan, bilang, kalau tidak makan bete (talas), ya tidak makan. Kalau sekarang, tidak makan nasi, itu tidak makan,” pungkasnya yang menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) tahun 2007, kemudian mulai kuliah S1 tahun 2012 dengan program beasiswa dari kementrian untuk para penyuluh yang belum sarjana.

Reporter : Iker
Editor : Rifay