PALU – Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) mencatat sebanyak 8.889 tenaga pengawas pemilu yang tersebar di Provinsi Sulteng.

Jumlah itu sudah termasuk pengawas di tingkat provinsi, 13 kabupaten/kota, 175 kecamatan, 2000 lebih desa/kelurahan dan 6000 pengawas TPS.

“Jadi peran elemen masyarakat dalam pengawasan partisipatif ini sangat penting bagi Bawaslu. Kepada seluruh elemen masyarakat, mari kita bersama-sama mewujudkan pemilu yang berkualitas,” kata Ketua Bawaslu Sulteng, Jamrin, saat menutup kegiatan sosialisasi pengawasan partisipatif, di Palu, Jumat (21/10).

Ia mengatakan, dengan jumlah DPT (Daftar Pemilih Tetap) di Sulteng yang mencapai 2 juta lebih, maka tidak mungkin bisa diawasi secara menyeluruh oleh tenaga pengawas yang hanya berjumlah 8.889 orang tersebut.

“Karena yang harus kami awasi itu adalah warga negara yang mempunyai hak pilih dan praktik politik uang itu justru ada di sana,” ungkapnya.

Jamrin mengatakan, rakyat atau pemilih adalah bagian yang menjadi sasaran dari peserta pemilu untuk meraih kemenangan. Kata dia, langkah apapun akan dilakukan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan, cara curang pun akan dilakukan.

“Namun tentu Bawaslu tidak akan tinggal diam. Bawaslu pasti melakukan langkah-langkah pencegahan meskipun kami sadari bahwa pencegahan yang dilakukan itu bukan berarti akan zero pelanggaran,” katanya.

Ia menegaskan, Bawaslu juga harus memastikan bahwa tidak ada intimidasi atau pemaksaan kepada rakyat untuk menentukan pilihannya.

Ia pun mengungkapkan pengalaman pada Pemilu 2019 lalu. Dari banyak kasus yang ditangani, sebagian besar atau sebanyak 34 kasus yang melibatkan Aparatur Sipil Negara (ASN).

Jumlah ini meningkat lagi menjadi 93 kasus pada Pilkada 2020. Kala itu, Sulteng menjadi satu-satunya provinsi yang pertama menangani kasus pelanggaran ASN.

“Dampaknya ada ASN yang pangkat dan gaji berkalanya tidak diproses. Jadi memang yang dirugikan adalah ASN itu sendiri,” katanya.

Lebih lanjut ia mengatakan, dari pengalaman Pilkada 2017 lalu, maka ada dua hal yang menjadi potensi pelanggaran, yaitu politik uang yang transaksinya berlangsung di daerah tetangga.

“Kejadiannya di Banggai Kepulauan dan transaksinya di Taliabo,” ungkapnya.

Potensi pelanggaran kedua yaitu membengkaknya transaksi atau pencairan uang di perbankan di saat tahapan pemilu sedang berlangsung.

“Kita harus siap-siap di sini dan Bawaslu juga sudah bekerja sama dengan PPATK untuk mendeteksi itu. Jika ada pencairan dana yang mencapai miliaran, sementara tidak ada proyek besar yang harus dibiayai, maka patut dipertanyakan,” ujarnya.

Sosialisasi pengawasan partisipatif yang berlangsung selama dua hari diikuti sejumlah elemen masyarakat, mulai dari pemerintah, lembaga negara, organisasi kemasyarakatan/pemuda/mahasiswa, partai politik dan kalangan media.

Sebelum ditutup, Bawaslu dan beberapa organisasi masyarakat/mahasiswa terlebih dahulu menandatangani Memorandum of Undertanding (MoU) atau nota kesepahaman terkait pengawasan partisipatif. RIFAY