Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka perkawinan anak di Sulawesi Tengah (Sulteng) tahun 2021 sebesar 12,51 %. Meski turun menjadi 9,32 %, namun angka ini masih di atas target perkawinan anak sebesar 8,74 % pada tahun 2024 dan 6,94% tahun 2030.
Di Kabupaten Banggai Laut (Balut) sendiri, pernikahan anak di bawah umur hampir terjadi setiap tahun. Kasus ini menjadi penyumbang terbesar pelajar putus sekolah di daerah itu.
Berdasarkan penelitian tesis (Wahyuni, 2020), pengajuan dispensasi nikah di Kabupaten Balut yang terdata di Pengadilan Agama Banggai, tahun 2018 sebanyak 2 kasus dan tahun 2019 sebanyak 13 kasus.
Tahun 2020, Pengadilan Agama Banggai mengonfirmasi ada 38 dispensasi yang diajukan, namun dua di antaranya batal. Angka ini meningkat cukup tinggi dari tahun sebelumnya. Sementara itu, di tahun 2021 sebanyak 29 kasus dan tahun 2022 sebanyak 34 kasus.
Beberapa waktu lalu, awak media ini mencoba mengunjungi tujuh SMA/sederajat di Kecamatan Banggai, Banggai Tengah, Banggai Selatan, dan Banggai Utara.
Dari tujuh sekolah tersebut, hanya satu yang tidak memiliki catatan siswa putus sekolah karena pernikahan anak selama dua tahun terakhir (tahun ajaran 2020/2021 dan 2021/2022). Sementara enam sekolah lainnya terdapat kurang lebih 25 siswa yang putus sekolah karena menikah muda, dengan jumlah terbanyak terdapat pada salah satu sekolah yang berada dekat jantung Kota Banggai dengan jumlah 11 kasus .
Dari 25 kasus tersebut, sebagian besar disebabkan siswa yang hamil. Selain itu, paksaan dari orang tua ketika anaknya sudah berpacaran, dan juga karena faktor ekonomi. Menikahkan anak, seolah melepas satu tanggung jawab secara ekonomi.
Selain dua penyebab di atas, ada satu kasus yang terjadi karena keinginan dari siswa itu sendiri. Ia berpikir untuk apa sekolah kalau pada akhirnya akan menikah juga. Ketika guru BK mengunjunginya, siswa tersebut telah memutuskan untuk berhenti sekolah, meski ia sudah kelas 3 SMA.
Kasus serupa juga terjadi di satu sekolah lainnya, tetapi keputusan berhenti sekolah dan menikah dipengaruhi oleh kondisi orang tuanya yang telah bercerai.
Hasil diskusi dengan sejumlah guru BK, staf dan kepala sekolah, bahwa ada guru BK yang telah memiliki kesadaran mengenai pentingnya pendidikan seks (sex education) untuk dibahas kepada para murid, sehingga tidak menunggu setelah ada kasus baru bertindak. Tetapi ada juga yang baru akan bertindak ketika mencurigai siswa hamil atau mendapat kabar siswa yang bersangkutan sudah tidak sekolah dan akan menikah (meski tidak hamil).
Ada juga guru BK yang tidak sering hadir di sekolah, dan masih mengadopsi pola lama, bahwa kehadiran guru BK untuk menghukum atau memproses siswa yang “nakal” (bolos sekolah, datang terlambat, dan sebagainya).
Guru-guru BK yang sudah memiliki kesadaran pentingnya pendidikan seks, tidak semua dapat menyuarakan kesadaran tersebut. Ada beberapa kendala, di antaranya mereka masih dianggap sebagai guru yang selalu menghukum siswa. Jika masuk ke ruang BK untuk konsultasi berarti termasuk siswa bermasalah. Hal tersebut diungkapkan salah dua guru BK yang enggan disebutkan namanya.
Konselor Pendidikan, Ahmad Sururi, memaparkan, guru BK sebagai konselor sudah seharusnya memberikan informasi terkait sex education karena salah satu tanggung jawab guru BK dalam memberikan informasi tersebut.
“Tetapi sebelum berbicara tentang pendidikan seks, setidaknya para konselor harus menjawab tiga pertanyaan. Pertama, apakah culture kita sudah seterbuka itu untuk membahas sex education? Kedua, apakah guru atau konselor di sekolah memiliki kemampuan yang mumpuni untuk membahas terkait sex education? Dan ketiga, apakah sudah ada kurikulum untuk sex education ini?” papar Ahmad, di Palu, Senin (27/02).
Terkait teknis pelaksanaan dalam menyampaikan perihal pendidikan seks, penting untuk membagi dua bagian. Laki-laki dengan guru laki-laki, perempuan dengan guru perempuan, agar siswa bisa nyaman, sehingga pembahasannya bisa lebih mendalam.
Selain itu, kata dia, perlu juga diperhatikan kebutuhan masing-masing siswa. Sejauh mana siswa membutuhkan sex education itu sendiri dan sudah seberapa jauh mereka mengenal hal-hal yang berkaitan dengan “sex”.
“Intinya secara general kebutuhan anak-anak apa sih? Ya, itu yang dikasih,” imbuhnya.
Sementara itu, menanggapi terkait pernikahan anak di bawah umur, Psikolog Klinis, I Putu Ardika Yana, menjelaskan, persoalan dasar dari permasalahan tersebut adalah pendidikan seks usia dini yang sampai hari ini tidak juga dilaksanakan.
Akhirnya, kata dia, anak-anak dapat dengan mudah terjebak pada kebutuhan seks yang tidak sehat dan tidak bertanggung jawab.
“Baik di kota maupun di desa, pola pribadi, pendidikan, dan pandangan tentang masa depan, berkaitan dengan keluarga, itu masih sangat rendah. Seolah-olah cita-cita hidup adalah menikah sehingga ketika menikah jadi capaian tertinggi dari hidup, akan mengabaikan capaian yang lain. Ngapain sekolah, mahal, gak jadi apa-apa juga, itu sudah ada laki-laki yang mau sama kau, nikah saja. Sehingga kasus pernikahan anak tidak memandang sekolah di desa atau kota,” jelas Ardi, Sabtu (25/02).
Persoalan ini juga mengakar pada budaya soal menjaga nama baik. Bahwa kehamilan di luar nikah dipandang sebagai masalah aib yang penyelesaiannya adalah menikah. Padahal belum tentu pernikahan dapat menjadi kunci penyelesaian.
“Orang-orang berpikir soal bagaimana nanti anaknya. Bukannya dalam Islam pun, anak yang lahir di luar pernikahan tetap tidak menjadi turunan (nasab) dari ayahnya? Dan bukankah juga negara telah menjamin anak tersebut dapat diakui? Masalahnya bukan di sana (menikah). Sekolah saat ini juga memungkinkan anak hamil tetap sekolah. Karena adanya UU perlindungan anak, jadi meski anak itu hamil, dia tidak boleh dihapus haknya untuk sekolah,” lanjutnya.
Untuk membahas pendidikan seks, lanjut Ardi, tidak bisa hanya satu guru yang bergerak. Butuh kerja sama berbagai pihak, pihak sekolah, pemerintah. Dan untuk memberikan pemahaman kepada orang tua tentang dampak pernikahan anak, dapat dilakukukan dengan memperbanyak parenting di desa-desa dan kelurahan.
Reporter : Iker
Editor : Rifay