PALU- Hakim Pengadilan Negeri Kelas 1 A PHI/Tipikor/Palu mengabulkan sebagian gugatan praperadilan diajukan Ronny Tanusaputra (pemohon) atas penetapan tersangka oleh Dirreskrimsus Polda Sulteng Kombes Pol Afrisal (Termohon).
“Mengabulkan gugatan yang diajukan pemohon untuk sebagian.” Demikian Amar putusan dibacakan Hakim Tunggal Praperadilan Suhendra Saputra turut dihadiri Kuasa Hukum Pemohon Mahfud Masuara, Moh. Ilyas, Nasrudin, Moh.Amin Khoironi dan Kuasa Hukum Termohon M.Tarigan dan Sukardin, di Pengadilan Negeri Palu Kelas 1A Tipikor/Palu, Kamis (4/11).
Suhendra Saputra dalam pertimbangannya mengatakan, dalam menentukan status pemohon sebagai tersangka pihak termohon tidak berdasar pada alat bukti, berupa hasil penilaian kegagalan bangunan oleh penilaian ahli ditetapkan oleh menteri.
Maka alat bukti yang digunakan oleh termohon, dalam suatu tindak pidana korupsi pembangunan Kantor DPRD Morowali Utara tahap 1 tahun 2006, belum memenuhi dua alat bukti permulaan yang cukup.
Sebab belum adanya hasil penilaian dan kegagalan bangunan oleh penilai ahli sebagaimana diamanatkan Undang-Undang nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Sehingga penetapan pemohon sebagai tersangka Nomor: S.Tap/10/II/2019/Ditreskrimsus, batal demi hukum dan pettitum permohonan patut dikabulkan.
Oleh karena pengadilan menilai apa yang dimohonkan oleh termohon tidak ada kaitannya, petitum permohonan telah dikabulkan, guna memberikan kepastian hukum terhadap pemohon maka petitum angka 2 dengan angka 3 patut pula dikabulkan.
Lebih lanjut dia mengatakan, bukti-bukti diajukan oleh termohon ke pengadilan, baik bukti surat maupun keterangan ahli dan saksi, dirinya tak menemukan fakta tentang penilaian ahli sebagaimana dimaksud dalam pasal 60 dan pasal 61 Undang-Undang nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.
Oleh karena tidak ditemukan fakta penilaian ahli sebagaimana dimaksud dalam pasal 60 dan pasal 61 Undang-Undang nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, maka proses penyidikan dalam menemukan alat bukti tidak berdasarkan pada aturan hukum.
Selain itu dalam pertimbangan lainnya, lebih dua kali berkas penyidikan atas nama pemohon dikembalikan penuntut umum ke penyidik. Hal ini mengindikasikan bahwa berkas penyidikan tersebut belum lengkap, dan penuntut umumpun belum meyakini kesalahan tersangka yang ditujukan kepadanya oleh termohon berdasarkan alat bukti yang ada.
Dengan kata lain, menurutnya, penuntut umum menilai alat bukti termohon belum cukup menentukan pemohon sebagai tersangka, untuk ditingkatkan menjadi terdakwa untuk diadili di dalam persidangan.
Hakim menjelaskan, sampai kapan pemohon menyandang status tersangka tersebut. Padahal secara tegas pasal 50 KUHAP terdapat frasa segera yang dapat dimaknai sebagai waktu yang tidak terlalu sungguh lama. Sehingga bertentangan dengan pasal 50 KUHAP tersebut.
“Namun faktanya sejak tahun 2019 sampai kini berkas perkaranya tidak dilimpahkan ke penuntutan umum,” ujarnya.
Terkait adanya putusan praperadilan nomor 7 Pid.Pra/2021/PN.Pal, menurutnya maka tidak ada hubungan dengan perkara a quo (sebelumnya). Dalam hukum acara pidana di Indonesia terhadap perkara yang sama tidak ditemukan larangan untuk memeriksanya kembali.
“Bahwa praperadilan hanyalah proses administratif mengenai tata cara penyidik untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka. Bukan memeriksa pokok perkara atau perbuatan seseorang dalam tindak pidana,” pungkasnya.
Reporter: Ikram/Editor: Nanang