Geliat Pelabuhan Donggala belakangan ini kembali mengingatkan era 1950-an.
Masa itu merupakan puncak kejayaan pelabuhan. Hingga di suatu masa, saat terjadi pergolakan Permesta (Perjuangan Alam Semesta) tahun 1958, pelabuhan jadi sasaran bom.
Pascagempa bumi dan tsunami 2018 lalu, keberadaan Pelabuhan Donggala kembali difungsikan untuk membongkar logistik hingga kini barang berupa pupuk dan semen tiap hari melalui Donggala.
Sebagian warga Donggala pun kembali mengenang perisitiwa 62 tahun silam ketika pelabuhan diserang bom saat sedang kapal ramai berlabuh.
Di antara kenangan itu masih diingat oleh Ismail Lamongke (77 tahun), warga Donggala yang orang tuanya bekerja di pelabuhan.
“Bapak saya (Husen Lamongke) bersama tiga orang rekannya waktu itu sedang berada di atas kapal, serempak lompat begitu mendengar suara pesawat. Hanya beberapa detik setelah lompat, bom betul-betul dijatuhkan, bapak saya selamat dengan berenang menuju Tanjung Karang,” cerita Ismail Husen pada media ini.
Pengeboman kala itu menyasar Kapal Giliraja yang belum sempat dibongkar muatannya berisi logistik militer.
Kenangan serupa masih diingat oleh Iring Rombelayuk (84 tahun), mantan pasukan Batalyon Frans Karangan asal Toraja, Sulawesi Selatan.
Pasukan ini membawahi empat kompi, salah satunya Kompi Raider Frans Karangan. Iring termasuk salah satu anggota tentara yang ikut melawan PERMESTA di Sulawesi Tengah hingga dikirim ke Manado melawan pemerontakan yang dipusatkan di kota itu.
Pengeboman kota Donggala hingga tenggelamnya empat buah kapal dan hancurnya fasilitas militer serta gedung-gedung penting, makin menimbulkan perlawanan.
“Pengusiran pasukan PERMESTA ditingkatkan hingga terdesak ke kawasan hutan Kebun Kopi di Tawaili. Perbandingan jumlah pasukan dari pihak PERMESTA jauh lebih banyak. Tapi pasukan pro pemerintah pusat lebih unggul menguasai medan dan mendapat dukungan masyarakat,” tutur Iring.
Menurutnya, selama pertempuran, pengejaran dilakukan hingga ke Toboli (wilayah Parigi) dan dari situlah terpencar, sebagian tewas dalam pengejaran, termasuk Mayor Lukas Palar tewas di perairan Poso.
Praktis tahun 1960 wilayah Sulawesi Tengah yang sedang berjuang mendirikan provinsi otonom mulai stabil.
Dari kenangan itu pula kemudian masyarakat mengabadikan nama empat kapal yang dibom pasukan Permesta menjadi nama jalan di sekitar Pelabuhan Donggala, yaitu Jalan Mutiara, Jalan Giliraja, Jalan Nuburi dan Jalan Moro.
Reporter : Jamrin AB
Editor : Rifay