Perlindungan Tenaga Kerja: Suteng Punya Ide, Jambi Eksekusi

oleh -
Ilustrasi

Oleh: Ahlis Djirimu

PADA 16 Agustus 2022, Gubernur Sulawesi Tengah H. Rusdy Mastura menyatakan telah mengalokasikan Rp6,- miliar bagi perlindungan masyarakat pada 300 desa tertinggal dan sangat tertinggal di Provinsi Sulteng. Anggaran sebesar itu lebih fokus kepada rumah tangga miskin ekstrim dan pekerja rentan yang berdomisili tepatnya di 288 desa yakni 275 desa tertinggal dan 13 desa tertinggal menurut data yang bersumber dari “Peringkat Nilai Data-Data Indeks Desa Membangun Tahun 2022” yang dipublikasikan oleh Direktorat Jenderal Pembangunan Desa dan Perdesaan Kementrian Desa dan Pembangunan Daerah tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa dan PDTT). Selain itu, Gubernur Sulteng menghimbau kepada Kepala Desa pada 1.842 desa untuk mengalokasikan Rp20,- juta bagi asuransi masyarakat perdesaan. Mengingat Gubernur mengeluarkan diskursus tersebut pada Agustus 2022, maka dukungan anggaran hanya dapat dimulai pada Perubahan APBD 2022 dan APBD Tahun 2023. Apakah hal ini benar-benar dilakukan terutama Bappeda dan BPKAD? Pembuktiannya terletak pada dokumen Penjabaran Perubahan APBD 2022 dan Penjabaran APBD 2023. Bappeda dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) Provinsi Sulteng merupakan leading sector dan bertanggung jawab penuh baik perencanaan maupun penyiapan dokumen tehnis berupa Petunjuk Pelaksanaan (juklak), Petunjuk Tehnis (Juknis), Master Schedule, Lini Masa dan Petunjuk Operasional (Jukops).

Di Indonesia, menurut data bersumber Kemendagri yang tertuang dalam Kepmendagri Nomor 050-145/2022, ada 74.961 desa. Dari jumlah tersebut, 17.421 desa atau 23,24 persen merupakan kategori “Desa Tertinggal” dan “Desa Sangat Tertinggal”. Di Provinsi Sulteng, dari 1.842 desa, terdapat 275 desa tertinggal atau menurun dari 615 Desa Tertinggal pada Tahun 2019 menjadi 436 Desa Tertinggal pada Tahun 2020. Sedangkan Desa Sangat Tertinggal menurun jumlahnya dari 52 Desa Sangat Tertinggal pada 2019 menjadi 31 Desa Sangat Tertinggal pada 2020 lalu tinggal 13 Desa Sangat Tertinggal pada 2022.   

Di Provinsi Sulteng, alokasi sebesar Rp6,- miliar tersebut dapat digunakan bagi alokasi perlindungan tenaga kerja di 275 Desa Tertinggal dan 13 Desa Sangat Tertinggal sebanyak masing-masing desa mendapat perlindungan tenaga kerja berjumlah 45 orang dengan rincian Rp6,- miliar dibagi dengan iuran BPJS-TK mulai dari sebesar Rp36.800,- per bulan dikalikan 12 bulan dibagi lagi dengan 288 desa. Lalu, bila Dana Desa yang bersumber dari APBN oleh Kepala Desa menerima himbauan Gubernur untuk mengalokasikan Rp20,- juta, maka jumlah tersebut cukup dapat melindungi 43 orang TK rentan dan miskin ekstrim di desa di setiap desa. Hal ini berarti ada sikap mental kolaboratif antara Pemerintah Provinsi Sulteng dengan Pemerintah Desa pada 288 Desa Tertinggal dan Sangat Tertinggal dapat menjamin perlindungan tenaga kerja bagi 88 orang di setiap desa. Bila 1.544 desa kategori Berkembang, Maju dan Mandiri ikut serta juga dapat kegiatan massal Perlindungan TK Rentan dan Kemiskinan Ekstrim ini, maka hal ini berarti ada 69.930 jiwa tenaga kerja rentan dan miskin ekstrim yang terlindungi.

BACA JUGA :  Etika dan Perilaku Politik dalam Menghadapi Pilkada

Pada sisi Badan Pengelola Jaminan Sosial Ketenagakerjaa (BPJS-TK), Lembaga ini menyediakan pertama, manfaat Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) meliputi perlindungan di perjalanan dari tempat kerja, perawatan tanpa batas biaya sesuai kebutuhan medis, santunan kematian akibat kecelakaan kerja sebesar 48 kali upah, serta bantuan beasiswa bagi 2 anak korban kecelakaan kerja maksimal Rp174 juta, apabila telah mengikuti program ini selama 3 tahun tanpa putus. Kedua, Manfaat Hari Tua. Manfaat ini berupa tabungan untuk persiapan hari tua berupa akumulasi iuran ditambah dengan hasil pengembangan. Ketiga, Manfaat Jaminan Pensiun (JP) berupa manfaat pensiun hari tua, manfaat pensiun janda/duda, manfaat pensiun cacat, manfaat pensiun anak, dan manfaat pensiun orang tua. Keempat, manfaat Jaminan Kematian (JKM) memperoleh total manfaat santunan sebesar Rp42,- juta berupa santunan kematian, biaya pemakaman, santunan berkala 24 bulan, serta bantuan beasiswa maksimal Rp174,- juta untuk 2 anak mulai dari Pendidikan Dasar hingga Perguruan Tinggi dari orang tua peserta aktif yang meninggal dunia atau cacat total akibat kecelakaan kerja. Kelima, Manfaat Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) memperoleh manfaat Bantuan Uang Tunai yang dapat digunakan sebagai modal kerja, memperoleh informasi lowongan kerja dan pelatihan kerja. Keenam, bagi pekerja Bukan Penerima Upah (BPU), mereka akan mendapatkan 3 program saja yakni Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Kematian (JKM).

BACA JUGA :  Mencari Jejak Identitas Kaili Rai di Tengah Arus Modernisasi

Di Provinsi Sulteng, daerah yang telah memberikan perlindungan pekerja aktifnya adalah Kabupaten Buol, Morowali, dan Kota Palu dan Poso pada tataran konversi inisiatif. Kabupaten Buol memberikan perlindungan pertama, kepada Non ASN/Hononer sebanyak 3.159 jiwa dari 3.284 jiwa atau 96 persen meliputi honorer pemda, guru honorer, perangkat kecamatan, perangkat desa dan kelurahan. Saat ini, di Kabupaten Buol, tinggal 125 yang belum termasuk dalam perlindungan jaminan ketenagakerjaan. Kedua, perlindungan kepada Kepesertaan Ekosistem Desa berjumlah 2.161 jiwa dari 13.226 jiwa. Kabupaten Buol akan memproyeksikan perlindungan pada 10.800 pekerja rentan atau masing-masing 100 pekerja rentan pada setiap desa yang berjumlah 108 desa. Definisi dan kategori pekerja rentan teah dituangkan dalam Instruksi Bupati Nomor 188.04/06.03/Disnaketrans/2022. Di Kabupaten Morowali, pemerintah mempunyai program inovasi berupa alokasi BPJS-TK bagi petani, nelayan dan pekerja non ASN, Pendidikan dan Pelatihan Berbasis Kompetensi Berdasarkan Kebutuhan Pasar, serta Pendidikan Vokasi Diploma I dan Diploma III. Pada 2022, Pemerintah Kabupaten Morowali mengalokasi APBD bagi 5000 pekerja Non ASN berjumlah Rp489,89,- juta, alokasi sebesar Rp1,78,- miliar bagi 8.843 nelayan dan Rp4,05,- miliar bagi 20.082 petani. Di Kota Palu, Pemerintah Kota akan mencoverage 40 ribu perlindungan ketenagakerja pada pekerja rentan dan penduduk miskin ekstrim. Perlindungan ini sebenarnya telah dilakukan sejak pelaksanaan Program Padat Karya dan Program Daerah Pemberdayaan Masyarakat (PDPM) sejak Tahun 2014. Pemerintah Kabupaten Poso akan menginisiasi konversi bantuan uang duka kepada Perlindungan Ketenagkerjaan. Pada tingkat korporasi besar, PT. IMIP mensyaratkan Kartu BPJS-TK merupakan syarat wajib di area PT. IMIP. Demikian pula dengan PT. Donggi-Senoro LNG. Data pada BPJS-TK menunjukkan bahwa PT. GNI selain mewajibkan perlindungan Tenaga Kerja melalui BPJS TK, korporasi ini mengalokasikan pula Corporate Social Responsibility (CSR) pada perlindungan masyarakat pekerja di sekitar area perusahaan.    

BACA JUGA :  Menakar Manfaat dan Pengaruh Debat Publik Paslon dalam Pilkada 2024 bagi Pemilih di Sulteng

Di daerah lain, Provinsi Jambi sangat aktif menjalankan program ini. Pemerintah Provinsi Jambi telah mengalokasikan perlindungan pekerja rentan dan rumah tangga miskin ekstrim sejak Perubahan APBD Tahun 2022 dan dalam APBD 2023. Daerah lain juga berlaku demikian. Pada 16 November 2022, di sela-sela penulis presentasi sebagai Akademisi Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah Wilayah Tengah Indonesia yang diselenggarkan oleh Kedeputian Evaluasi Pembangunan Bappenas, yang tugas penulis membawahi evaluasi 12 provinsi di Pulau Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara Barat, ada penanya dari daerah tertarik akan menjalankan program perlindungan ketenagakerja dan warga miskin ekstrim. Penulis menjelaskan bagaimana mekanisme dan berbagai payung regulasi terutama pasca pemberlakukan Permendagri 77 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah yang mencabut 10 regulasi terutama Permendagri Nomor 99 Tahun 2019 tentang Perubahan Kelima Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 Tata Cara Pemberian Hibah dan Bansos atas Dana Yang Bersumber dari APBD. Penulis merekomendir untuk menindaklajuti dengan perwakilan BPJS-TK di masing-masing provinsi.

Semoga Pemerintah Provinsi Sulteng dan 9 kabupaten lainnya dapat menjalankan program ini. Bila tidak, maka Sulteng hanya punya ide yang hanya sampai pada latar dalam bab 1 pendahuluan, provinsi lain yang menjalankannya. Bukankah hal ini merupakan implementasi sosialisme ala Cudi yang sejak 2012 sudah sering penulis diskusikan dan berikan catatan kritis pada beliau? Semoga ide ini tidak ditelan oleh waktu yang menolak lupa.

*Penulis adalah anggota Associate Professor FEB-Untad dan Akademisi Evalusi Pembangunan Daerah Wilayah Tengah Bappenas