OLEH: SAHRAN RADEN*
Salah satu Hak yang dijamin oleh konstitusi UUD 1945 adalah hak politik bagi setiap warga negara. Political right merupakan elemen penting bagi hak asasi manusia dimana setiap warga negara berhak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan melalui hak memilih dan dipilih. Dalam konsepsi operasionalisasi konsep negara hukum yang demokratis, maka setiap warga negara kedudukannya sama untuk ikut serta berpartisipasi dalam pemerintahan. Termasuk didalamnya bagi kaum difabel.
PANDANGAN DISABILITAS MENTAL
Jika diartikan bahwa Difabel, disabilitas atau keterbatasan diri dapat bersifat fisik, kognitif, mental, sensorik, emosional, perkembangan atau beberapa kombinasi dari ini. Istilah difabel dan disabilitas sendiri memiliki makna yang agak berlainan. Penyandang disabilitas mental atau Orang Dengan Gangguan Jiwa adalah seorang yang mengalami hambatan dalam interaksi dan partisipasi di masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya.
Disabalitas mental juga adalah orang yang mempunyai masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki resiko mengalami gangguan jiwa. Dimana terjadi gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.
Sebagaimana sesuai dengan Undang-Undang Kesehatan Jiwa No. 18 Tahun 2014. Permasalahan gangguan jiwa dapat dialami oleh siapa saja, dan dapat menimbulkan beban tidak saja bagi penyandangnya tetapi juga bagi keluarganya, apabila tidak mendapatkan penanganan secara tepat. Maka disabilitas mental dapat ditangani dengan baik apabila melalui suatu proses pengobatan yang baik pula. Disabilitas mental atau Gangguan jiwa dari sisi psikologi tidaklah permanen sewaktu waktu dapat pulih dengan baik Maka jika tidak didaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), kemudian ketika pemungutan suara sudah sembuh, mereka bisa kehilangan hak pilihnya.
JAMINAN SEBAGAI PEMILIH DI PEMILU
Diskursus tidak atau bolehnya penyandang disabilitas mental memilih, memang menjadi polemik dimasyarakat. Oleh KPU sebagai organ kelembagaan yang mengatur dan melaksanakan pemilu telah mengeluarkan kebijakan untuk ini.
Kebijakan KPU Nomor 1401/PL.02.1-SD/01/KPU/XI/2018, merupakan bentuk nyata dari realisasi jaminan hak politik yang setara bagi setiap WNI. Kebijakan tersebut pun sesuai dengan UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dan Konvensi PBB tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas yang telah diratifikasi melalui UU Nomor 19 Tahun 2011. Selain itu, ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135 Tahun 2015.
Memang kebijakan hukum bukan satunya satunya instrumen untuk menyelesaikan problematika disabilitas. Akan tetapi hukum memberi perlindungan kepada mereka. Selain hukum aspek lain ditambah dengan upaya-upaya lainnya yang dapat mendukung penyandang disabilitas mental untuk menggunakan hak memilihnya dengan sebaik-baiknya, seperti dukungan psikologis, sosial, dan pengobatan, sosialisasi, dan edukasi mengenai hak politik serta pengetahuan mengenai kepemiluan. Perkembangan HAM internasional cenderung menjamin hak politik bagi penyandang disabilitas, termasuk penyandang disabilitas mental.
Sejak tahun 1966, hak memilih dalam ICCPR (Konvensi Hak Sipil dan Politik) masih dibatasi secara leluasa. Di tahun itu, hak memilih dalam ICCPR dibatasi tetapi dilakukan lebih ketat, yaitu dengan kriteria logis dan objektif. Baru pada 2006, Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas mengubah sifat pembatasan atau penggantian menjadi dukungan (supportif) dalam pemenuhan hak penyandang disabilitas.
Lalu pada 2013 Human Right Councilmenyatakan bahwa negara harus meninjau kembali bentuk pengucilan atau larangan terhadap hak politik bagi penyandang disabilitas, dan harus mengambil tindakan-tindakan yang layak, termasuk dalam hal legislasi, yaitu mengubah atau menghilangkan regulasi yang ada, kebijakan-kebijakan tradisi dan kebudayaan yang melahirkan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas.
Perkembangan HAM internasional justru cenderung semakin menjamin hak politik bagi penyandang disabilitas, termasuk penyandang disabilitas mental.
Pemilu 2019 mereka harus mendapatkan jaminan penuh atas hak-haknya, seperti hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik, termasuk untuk didaftarkan sebagai pemilih dalam pemilu 2019.
ARGUMENTASI HUKUM
Pertanyaan berikutnya adalah, mengapa penyandang disabilitas mental harus dilindungi hak politik, khususnya hak memilihnya oleh negara. ?. Dalam konteks demikian maka dapat diargumentasikan bahwa ; Pertama pada aspek filosofis, penyandang disabilitas mental adalah manusia yang memiliki hak asasi yang setara sejak dia dilahirkan. Maka negara tidak boleh diskriminasi terhadap setiap warga negaranya dalam semua aspek kehidupan termasuk memilih dalam pemilu 2019.
Kedua, secara yuridis, penyandang disabilitas mental merupakan WNI yang memiliki hak konstitusional yang sama sehingga wajib dihormati, dilindungi, dan dipenuhi oleh negara.memberi jaminan memilih kepada Disabilitas mental merupakan perlindungan negara secara konstitusional kepada semua warga negara secara setara.
Ketiga, secara medis, kapasitas seseorang untuk memilih dalam pemilu tidak ditentukan oleh diagnosis atau gejala yang dialami penderita, melainkan dari kemampuan kognitif (kemampuan berpikir). Penyandang disabilitas mental seperti penderita skizofrenia, bipolar atau depresi berat tidak otomatis kehilangan kapasitas menentukan pilihan.
Keempat, secara sosiologis, perkembangan masyarakat Indonesia pasca pengesahan UU Penyandang Disabilitas sudah menuju kepada pembentukan lingkungan yang inklusif. Maka secara sosiologis pemberian hak memilih kepada kaum disabilitas mental merupakan prosedur kebijakan pemilu yang universal dan inklusif. Pemilu inklusif adalah memberikan kesetaraan kepada semua warga negara untuk bisah mengakses pemilu termasuk memberikan suaranya di TPS.
Kelima, secara historis, bahwa pemberian hak memilih pada penyandang disabilitas mental telah dilakukan pada pemilu pemilu sebelumnya. Bahkan melarang penyandang disabilitas mental untuk terdaftar dalam daftar pemilih lebih lebih melarang mereka menggunakan hak suaranya di pemilu merupakan pengingkaran terhadap HAM internasional maupun yang berlaku di Indonesia.
Berdasarkan argumentasi itu, maka kebijakan pendaftaran pemilih penyandang disabiIitas mental oleh KPU untuk pemilu 2019 hendaknya didukung oleh semua pihak. Yang penting bagi KPU bahwa penyandang disabilitas masuk dan terdaftar dalam DPT dulu. Soal nanti bahwa tidak dapat menggunakan hak pilih itu soal lain. Akan tetapi KPU telah memberi perlindungan Hak pilih bagi kaum disabilitas mental merupakan gerakan sadar Hak Asasi manusia di Indonesia.
DUKUNGAN KEBIJAKAN MELALUI SOSIALISASI
Terhadap kebijakan KPU yang telah dilandasi dengan hukum konstitusi patut didukung dengan berbagai kebijakan dimasing-masing masing kementrian. Untuk menopang kebijakan tersebut tentu KPU dan mintra kelembagaan lainnya Bisah melakukan koordinasi dengan Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan dan pemerintah daerah untuk memberikan dukungan dan fasilitas yang dibutuhkan. Tujuannya agar para penyandang disabilitas mental yang didaftar dapat menggunakan hak memilihnya pada saat hari pencoblosan. Perlu pula melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat, tim sukses para calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu 2019, internal KPU dan seluruh jajarannya, dan penyelenggara pemilu lainnya terkait dengan hak politik penyandang disabilitas, khususnya penyandang disabilitas mental. ***
*Penulis adalah Anggota KPU Provinsi Sulawesi Tengah Periode 2018-2023