OLEH: Sofyan Arsyad

Kami memang tak pernah berjumpa langsung.

Guru Tua wafat 22 Desember 1969. Saya lahir 19 Mei 1968.

Tapi, cerita tentang Guru Tua banyak saya peroleh dari kedua orang tua saya.
Ayah saya (H. Hasbullah Arsyad), termasuk satu diantara murid dekat Guru Tua.

Dicarikan jodoh, hingga dipilih mendampingi sang guru berhaji ke tanah suci bersama dua murid lainnya.

Sementara ibu saya (Alm. Hj. Halimah), memiliki orang tua yg dekat dengan para Habaib.

Kawan karib Guru Tua di Pekalongan, Jawa Tengah. Diantaranya Habib Ali bin Ahmad Alatas.

Suatu ketika ibu saya bercerita, bahwa perjodohan mereka tak lepas dari peran Guru Tua.

“Guru Tua yang jadi perantara perjodohan ayahmu,” ujarnya.

Peristiwa itu terjadi di rumah kakek saya.
Berlokasi di jalan Kemakmuran, Kelurahan Kraton Kidul, Kota Pekalongan Jawa Tengah.

Kondisi bangunannya, kini tak lagi seperti dulu. Tahun 1993, saya masih menjumpai model asli rumah sejuta kenangan tersebut.

Di bagian depan, terdapat kaca transparan. Bila kita duduk di ruang tamu, bisa melihat orang di luar.

Dan seperti lazimnya rumah di Jawa dulu, sumur timba berada di depan rumah.
Singkat cerita, perjodohan bermula dari pembicaraan Guru Tua dengan kakek saya. Didukung Habaib Pekalongan.

Mereka sepakat menjodohkan ayah dan ibu saya.

Padahal, ayah saya belum mengenal betul siapa perempuan yang dijodohkan dengannya. Sebaliknya, ibuku pun demikian.

Suatu hari, ibu saya disuruh menimba air di sumur depan rumah. Di waktu bersamaan, ayah saya diajak Guru Tua dan beberapa orang Habaib bersilaturrahim ke rumah kakek saya.

Ayah saya ditempatkan duduk persis searah (berhadapan) dengan sumur di luar rumah.

Saat menimba air, posisi ibu saya membelakangi mereka. Dan ia sama sekali tak tahu, bahwa perintah menimba air sengaja dilakukan. Untuk memperlihatkan kondisi fisiknya kepada sang calon suami.
“Itu calon isterimu. Anggota tubuhnya lengkap. Tangan dan kaki. Tidak ada yang cacat”.

Begitu kira-kira kalimat Guru Tua kepada muridnya. Dan ayah saya pun, “sami’na wa atho’na”

Menimba air di depan rumah, bukanlah adegan tanpa makna.

Itu dilakukan untuk memastikan bahwa perjodohan ini bukan ibarat “menjual kucing dalam karung”.

Meski terkesan unik, tapi membawa berkah.

Dari perjodohan itu, lahir duabelas orang anak. Termasuk saya sebagai anak ke sembilan.

Selesai akad nikah, Guru Tua “menitip” ayah saya mengajar di madrasah milik sahabatnya, seorang habaib ternama di Kota Pekalongan.

Hingga lahir dua orang anak (Nekmah dan Muhammad) di Pekalongan, baru Guru Tua mengajaknya kembali mengajar di Alkhairaat Palu

Yang menjadi pertanyaan dibenak saya:
Adakah anak muda yang mau diperjodohkan seperti itu, di era kini?

Adakah seorang guru yg memperlakukan muridnya seperti Guru Tua?

Mengurus keperluan murid, hingga urusan mencarikan jodoh.

Guru Tua bukan sebatas guru. Tapi sekaligus orang tua bagi murid-muridnya.

Sungguh terlalu ‘ente’ Fuad Riady.
Merendahkan guru orang tuaku yang berakhlak semulia itu.