Sudah sering dikisahkan bahwa peristiwa Isra Mi’raj terjadi pada tahun ke-12 dari kerasulan Muhammad SAW, bertepatan tahun 622 M. Tahun itu dikenal pula dalam sejarah Islam dengan ‘amul huzni (tahun kesedihan).
Pada tahun itu berpulangnya keramatullah secara berturut-turut, isteri beliau Khadijah al-Kubra dan paman beliau Abu Thalib. Dua sebab ini pula menjadikan beliau diundang secara langsung oleh Allah SWT, dan sekaligus menerima perintah shalat lima waktu.
Seperti yang sudah dikisahkan bahwa ketika Nabi berada di Sidratul Muntaha (tempat yang terakhir), lalu ia memberikan penghormatan/salam kepada-Nya: Attahiyyatul mubarakatush shalawatuth thayyibatu lillah.
Lalu Allah menjawab salamnya dengan ucapan: Assalamu’alaika ayyuhannabiyu warahmatullahi wabarakatuh. Selanjutnya Nabi saw menjawab: Assalamu ‘alaina wa’ala ‘ibadihillahish shalihin.
Lalu Malaikat mengucapkan syahadatain dan salawat atas Nabi: Asyhadualla ilahaillallah wa asyhadu anna Muhammadan rasulullah, allahumma shalli ‘ala Muhammad. Lalu Nabi menyahutinya dengan ucapan: Wa’ala ali Muhammad.
Boleh dibilang, buah manis dari peristiwa Isra’ Mi’raj adalah perintah menunaikan shalat. Shalat merupakan kekuatan dahsyat yang akan menghubungkan diri hamba dengan Khaliknya. Dengan shalat, kita dapat Mi’raj menuju Allah, berkomunikasi dan bermunajat indah dengan Yang Maha Kuasa.
Oleh karena itu, tidak boleh seorang muslim pun yang melalaikan shalat apalagi meninggalkannya. Sesungguhnya yang membedakan seorang mukmin dengan orang kafir adalah shalatnya.
Rasulullah SAW sendiri menjadikan shalat sebagai solusi terhadap semua problem yang beliau hadapi. Hudzaifah Ibnul Yaman RA mengatakan, “Adalah Rasulullah SAW jika menghadapi kesulitan, beliau bersegera menegakkan shalat.” (HR Abu Dawud) “
Maka sangat penting bagi setiap Muslim selalu meningkatkan kualitas maupun kuantitas shalatnya. “Shalat adalah amal utama yang sewajibnya selalu kita utamakan. Shalat adalah kebutuhan yang semestinya selalu kita rasakan sebagai kebutuhan. Shalat itu bertingkat tingkat dalam kualitas dan kuantitasnya, sepatutnya selalu kita tingkatkan
Shalat juga berfungsi sebagai kebutuhan sosial. Shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.
Ini dijelaskan dalam Alquran surah al-Ankabut ayat 45. Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa shalat itu mengandung hikmah dapat menjadi pengekang diri dari kebiasaan melakukan perbuatan keji dan mungkar serta mendorong pelakunya untuk dapat menghindarinya.
Seseorang yang melakukan shalat dengan baik akan mencegah dirinya dari berbuat keji dan mungkar serta dari berbuat zalim kepada orang lain. Sehingga, tercipta suasana kondusif di masyarakat dan mendorong keharmonisan kehidupan berbangsa dan bernegara. Itulah hakikat bahwa shalat itu merupakan kebutuhan sosial.
Untuk melahirkan ruh kebangkitan Islam, umat Islam harus memperbaiki kualitas shalatnya. Shalat yang berkualitas akan berpengaruh terhadap kualitas umat Islam itu sendiri.
Dirasakan sekali bahwa umat Islam hari ini sedang terjajah baik secara fisik maupun secara ideologi. Umat belum berani memakai ideologinya sendiri yang termuat di dalam al-Quran dan Hadits yang kebenarannya tidak diragukan lagi.
Dengan demikian Shalat itu merupakan jalar keluar untuk berbagai persoalan dan kebutuhan hidup seorang Muslim. “Shalat untuk bahagia, penting kita perjuangkan. Shalat untuk kemudahan urusan, perlu kita niatkan. Shalat untuk keselamatan, semestinya kita biasakan. Shalat untuk keberkahan rezeki, sepatutnya kita hadirkan dalam hati.
Maka, segeralah memperbaiki dan memperbanyak shalat, wajib dan sunat sebelum anda dishalatkan. Wallahu a’lam
DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)