Oleh: Moh. Ahlis Djirimu*

PADA 13 April 2024, Sulteng memasuki usia 60 tahun. Di wilayah barat Sulteng, eksplorasi bahan galian non logam tetap berlangsung. Di wilayah timur, eksplorasi dan eksploitasi pertambangan logam dasar migas dan nikel berlangsung massif. Bila penduduk Sulteng belum menyadarinya, maka lambat laun, daerah ini memasuki fenomena pertumbuhan yang membenamkan penduduknya. Hal ini sebenarnya menyimpan masalah kerentanan pada kelembagaan sosial ekonomi yang berujung pada immiserizing growth atau pertumbuhan membenamkan sebagai ciri khas daerah-daerah pertambangan yang menerima kutukan sumberdaya, di luar ancaman runtuhnya pranata sosial dan degradasi lingkungan berkelanjutan. Dalam dua puluh tahun ke depan, setidaknya Sulteng menghadapi empat tantangan.

Tantangan Geografi. Sulawesi Tengah terletak antara 2º22’ Lintang Utara dan 30º48’ Lintang Selatan dan antara 119º22’−124º22’ Bujur Timur dan dilalui oleh garis ekuator atau garis khatulistiwa. Berdasarkan posisi geografisnya, Provinsi Sulawesi Tengah memiliki batas-batas: Utara-Laut     Sulawesi dan Provinsi Gorontalo; Selatan-Provinsi Sulawesi Barat dan Provinsi Sulawesi Selatan; Barat-Selat Makassar; Timur-Provinsi Maluku Utara. Sebagai provinsi terluas di Pulau Sulawesi dengan luas sekitar 35 persen (61.841,29 Km2) dari luas Pulau Sulawesi. Luas wilayah laut Sulteng mencapai 189.480 Km2 dengan jumlah pulau sebanyak 1.604 pulau dan  panjang garis pantai 6.653,31 Km. Provinsi Sulteng memiliki 12 kabupaten dan 1 kota, yang meliputi 175 kecamatan, 175 kelurahan dan 1.842 desa. Kabupaten Morowali Utara dan Banggai merupakan wilayah kabupaten yang memiliki wilayah terluas dengan tingkat kepadatan penduduk terendah di antara kabupaten/kota lainnya. Sementara itu, konsentrasi kepadatan penduduk masih berada di Kota Palu yang merupakan ibukota provinsi. Hampir semua bagian provinsi ini bergunung-gunung (kira-kira 42,80 persen di atas ketinggian 500 MDPL) dan puncak tertinggi adalah Gunung Nokilalaki yang mencapai 2.610 MDPL. Selain gunung, Sulawesi Tengah memiliki beberapa sungai di antaranya Sungai Lariang, Sungai Gumbasa, dan Sungai Palu. Di Sulteng, terdapat danau yang menjadi obyek wisata terkenal, yakni Danau Poso   dan Danau Lindu.

Pada sisi letak geografis, dengan disahkannya Undang-Undang Ibu Kota Negara (IKN) baru oleh DPR  di Kalimantan Timur, Sulteng menjadi wilayah yang strategis sebagai daerah penyangga IKN  baru dan sebagai akses masuk bagi agenda prioritas pembangunan kedepan. Pemerintah Provinsi Sulteng memprioritaskan pembangunan proyek infrastruktur strategis dan kebijakan pembangunan terkait untuk menunjang pengembangan wilayah penyangga IKN. Sumbangan ekonomi pulau Jawa pada ekonomi Nasional mencapai 58,59 persen, artinya hampir tiga perempat ekonomi nasional disumbangkan oleh Pulau Jawa. Sebaliknya, sumbangan Sumatra mencapai 21,66 persen, Kalimantan dan Sulawesi masing-masing mencapai 8,22 persen dan 6,11 persen. Pada sisi lain, sumbangan Bali-Nusa Tenggara dan Papua masing-masing mencapai 3,11 persen dan 2,43 persen. Artinya, pada sisi skala ekonomi, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Papua belum mencapai titik optimal produksi untuk kebutuhan ekonomi Indonesia yang memperhatikan daya dukung dan daya tampung air, pangan, jasa lingkungan. Kontribusi ekonomi dalam perekonomian nasional regional Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) saja telah mencapai 20,85 persen. Hal ini hampir setara dengan kontribusi ekonomi Pulau Sumatra, atau hampir setara dengan gabungan Kalimantan, Sulawesi, Papua, Bali-Nusa Tenggara. Inilah menjadi satu dari beberapa alasan dari eksistensi UU IKN. Infrastruktur pendukung diperlukan untuk kelancaran mobilitas dan pergerakan ekonomi yang    akan masuk atau keluar dari dan ke IKN melalui Sulteng. Provinsi Sulteng termasuk daerah yang dilewati oleh garis Khatulistiwa yang melintasi semenanjung bagian utara yang menyebabkan iklim di daerah ini tropis.

Secara geografis, wilayah Sulteng merupakan jalur patahan dari pertemuan beberapa lempeng, yaitu lempeng Pasifik, Indo-Australia dan lempeng Eurasia. Dari fenomena ini, wilayah Sulteng rawan akan bencana khususnya pergerakan tanah seperti gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi. Dari data historis Tahun 1927 – 2018, telah terjadi sebanyak 11 kali kejadian gempa di atas 6 SR yang mengguncang Sulteng. Kejadian gempa yang disertai tsunami yang menelan banyak korban jiwa terjadi pada 28 September 2018 dengan korban yang meninggal dunia sebanyak 2.830 orang, korban hilang 701 jiwa, korban luka 2.537 jiwa dan jumlah pengungsi sebanyak 53.173 kepala keluarga (KK) atau 172.999 jiwa. Tantangan yang masih terjadi dan perlu menjadi prioritas pemerintah daerah di tingkat provinsi, kota, dan      2 kabupaten adalah menyelesaikan pembangunan hunian tetap dan infrastruktur yang rusak masih berjalan pembangunannya.

Tantangan dan dampak kesulitan geografis juga dapat dilihat dari data Indeks Kesulitan Geografis (IKG) yang merupakan ukuran untuk menentukan tipologi desa berdasarkan tingkat kesulitan untuk akses pada suatu desa. Akses yang dimaksud adalah akses terhadap pelayanan dasar, kondisi infrastruktur, serta aksesibilitas jalan atau sarana transportasi, dan komunikasi. Nilai IKG yang rendah menunjukkan bahwa aksesibilitas di wilayah tersebut baik, dan begitupun sebaliknya. Pada Tahun 2021 IKG Sulteng berkisar antara 12,56 poin sampai dengan 77,30 poin dari total 1.842 desa. Jika dikelompokan maka sebanyak 12,65 persen desa di Sulteng nilai IKGnya rendah, 58,15 persen cukup rendah, 25,24 persen sedang, dan 3,96 persen tinggi. Mayoritas desa-desa yang memiliki nilai IKG tinggi adalah desa-desa yang ketersediaan fasilitas/infrastrukturnya sangat rendah, baik karena akses jalan yang buruk ataupun letak geografis desa yang berada jauh di pedalaman, ataupun di lereng/puncak gunung. Selain itu, 686 desa dari 1.842 desa atau proporsinya 37,24 persen masih blank-spot dengan jumlah terbanyak yakni 126 desa berada di Kabupaten Banggai. Komitmen Pemda Sulteng tidak hanya dapat dilihat pada tataran peraturan perundang-undangan saja, namun pada realisasi anggaran Lingkungan Hidup di Sulteng membuktikan hal sebaliknya. Dilihat dalam data realisasi APBD Sulteng Tahun Anggaran (TA) 2020. Realisasi Anggaran Lingkungan Hidup hanya 10 Miliar atau 0,02 persen dari APBD Sulteng TA 2020 (https://djpk.kemenkeu.go.id/?p=5412). Tentu anggaran sebesar ini tidak akan cukup melindungi 4,3 juta Ha hutan alam Sulteng.

Tantangan Peningkatan Peran Perempuan Dalam Pembangunan. Keterlibatan perempuan di parlemen Tahun 2021 dan Tahun 2022 menunjukkan angka yang sama yaitu sebesar 11,43 persen, stagnannya angka ini menunjukkan bahwa ada masalah atau hambatan yang dihadapi. Menurut United Nations Development Program (UNDP) yaitu Hambatan Langsung, Hambatan Bersifat Mendasar, Hambatan Struktural.

Hambatan langsung meliputi Kurangnya Kepercayaan Perempuan terhadap Sistem Politik, Kurangnya Ketrampilan dan Pendidikan Politik, Kurangnya Pengetahuan akan Sistem Politik, Kurangnya Minat Perempuan terhadap Politik, Kurangnya Sumberdaya Finansial, Kurang Percaya Diri, Kurang Mobilitas, Tanggung Jawab keluarga, Kurangnya Perempuan sebagai kader aktif Partai Politik, Kurangnya dukungan dari Partai Politik, serta persepsi yang menganggap politik itu kotor. Hambatan bersifat mendasar meliputi Budaya Maskulin dan Dominasi Laki-Laki, Agenda Parpol yang berorientasi pada laki-laki, Kurangnya demokrasi di Internal Parpol, Komersialisasi Politik, Sistem Kepemiluan, Nepotisme dan Elitisme dalam Parpol, Kekerasan Politik, Korupsi dalam politik. Hambatan bersifat struktural meliputi Dikotomi Diskursif Ranah Publik-Privat, Patriaki Publik-Privat, Perilaku Sosial yang Patriakis terhadap Laki-Laki dan Perempuan, Fundamentalisme Keagamaan.

Strategi yang ditempuh untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam Pemilu dan Pilkada Tahun 2024 yaitu, pertama, strategi mengintegrasikan perspektif gender dalam pembangunan dalam rangka mewujudkan kesetaraan gender. Selain itu, dilakukan pula, pengintegrasian perspektif gender tersebut dimulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan sampai pemantauan dan evaluasi. Kedua, strategi Pemberdayaan Perempuan, melalui Upaya pembangunan dalam rangka meningkatkan kapasitas dan kualitas perempuan, yang diwujudkan dalam bentuk, WID (women in development) yang terfokus kepada kuantitas perempuan dalam pembangunan; WAD (women and development), yang terfokus kepada kualitas peran perempuan dalam proses pembangunan; GAD (gender and development) yang terfokus kepada relasi antara laki dan perempuan.

Akhirnya, peningkatan partisipasi perempuan dalam Pemilu yang telah selesai pada 14 Februari 2024 dan Pilkada pada 27 November 2024 dapat tercipta secara kolaboratif dengan mendorong peningkatan suara perempuan melalui transformasi paradigma pembangunan dari dimensi kompetisi, menjadi dimensi kolaboratif, berperan setara dalam pembangunan.

Pekerjaan rumah kita adalah adanya 31.448 rumah tangga yang dikepalai perempuan miskin atau proporsinya 9,71 persen dari rumah tangga miskin di Sulteng. Strategi tematik dan spasial memberdayakan perempuan yang dominan berusia 60 tahun ke atas yang dominan terkonsentrasi di Kabupaten Banggai wilayah kepala burung dan wilayah utara sepatutnya mendorong leading sector dan focal point Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Provinsi Sulteng, DP3A Kabupaten Banggai, Dinas PMD Sulteng dan Kabupaten Banggai, DP2KB Sulteng bersinergi. Adanya 9,71 persen rumah tangga perempuan tersebut dapat berkurang bila negara hadir mengayomi mereka. Perempuan Sulteng yang berdomisili di wilayah terdepan, terpencil dan terluar seperti di Menui Kepulauan, di Timpaus, Sonit, Kasuari Kecamatan Bokan Kepulauan, di dataran tinggi Pipikoro menghadapi kenyataan marginalisasi hak-haknya sebagai perempuan di daerah dengan Indeks Kesulitan Geografi tinggi.

*Penulis adalah anggota Associate Professor FEB-Untad