PALU- Puluhan aktivis Perempuan Mahardika Palu melakukan aksi unjuk rasa di depan Kampus Universitas Tadulako, Rabu (26/11). Berbekal spanduk dan poster berisi tuntutan mereka secara bergantian melakukan orasi.
Mereka juga menyediakan spanduk sepanjang empat meter dan semua melakukan aksi stempel telapak tangan dengan cat, sebagai bentuk protes menyoroti penanganan kekerasan terhadap perempuan, di Sulawesi Tengah yang belum serius.
Aksi jalan kaki dan orasi di depan Universitas Tadulako juga menyoroti maraknya kekerasan seksual di lingkungan kampus belum mendapatkan penanganan serius. Banyak kasus justru disembunyikan atas nama menjaga reputasi akademik, sementara kebutuhan perlindungan bagi korban—baik secara psikologis maupun mental—diabaikan.
Koordinator Perempuan Mahardika Palu Stevi Rasinta mengatakan, memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) bukan sekadar acara tahunan. Momentum tersebut menjadi pengingat bahwa kekerasan terhadap perempuan masih sangat masif dan dapat terjadi di mana saja. Pelakunya bisa berasal dari beragam lingkungan—pejabat, dosen, anggota keluarga, bahkan teman dekat.
” Sementara jumlah korban terus meningkat, banyak kasus tidak memperoleh penyelesaian layak. Perempuan dan anak dari keluarga miskin menjadi kelompok paling rentan, karena keterbatasan akses terhadap perlindungan dan layanan pemulihan,” ujarnya.
Olehnya kata Stevi, pihaknya berkomitmen untuk membangun kesadaran kritis dan mengajak generasi perempuan muda untuk berkolektif.
Stevi menjelaskan, di tengah isu efisiensi anggaran pemerintah, kekhawatiran muncul bahwa kasus kekerasan hanya dipandang sebagai angka dalam laporan keuangan, bukan sebagai persoalan kemanusiaan.
“Kondisi pekerja perempuan juga menjadi sorotan penting. Di wilayah pertambangan seperti Morowali, kerentanan perempuan buruh semakin tampak,” katanya.
Stevi memaparkan, dalam pengalaman advokasi bersama buruh perempuan FSPMI, terungkap kondisi kerja tidak manusiawi—misalnya buruh perempuan harus menampung air pembuangan pendingin ruangan, selama tiga bulan untuk kebutuhan toilet karena minimnya fasilitas dasar dari perusahaan.
Selain itu, kata Stevi, pelecehan seksual di tempat kerja masih kerap terjadi tanpa adanya mekanisme perlindungan memadai, sementara perempuan tetap terpaksa bekerja karena tekanan ekonomi.
Tidak hanya itu, kata Stevi, pekerja perempuan di sektor informal menghadapi ancaman lebih berat. Banyak dari mereka tidak memiliki perlindungan kerja jelas, termasuk pengabaian terhadap hak maternitas seperti cuti melahirkan, cuti haid, dan akses terhadap layanan kesehatan reproduksi.
“Ketiadaan regulasi melindungi mereka membuat kekerasan berbasis gender di dunia kerja semakin sulit terlihat dan sulit dilaporkan,” katanya.

