PALU – Peraturan Wali Kota Palu nomer 38 tahun 2017 tentang Pedoman Pelaksanaan Kelembagaan Adat Kaili, diminta revisi untuk dikembalikan pada komunitasnya oleh Budayawan Sulawesi Tengah, sekaligus penulis pertama naskah tersebut, Iksam Djorimi.
Menurut Iksam Djorimi, dalam perjalanannya peraturan tersebut telah banyak berubah. Tidak lagi berdasarkan apa yang menjadi tujuan yang sudah dikerjakan oleh Tim Peneliti Budayawan Sulawesi Tengah tahun 2012 silam.
Iksam mengatakan, pada prinsipnya tidak seharusnya apa yang ada di dalam peraturan tersebut dijalankan secara komunal. Sebab di dalam itu terdapat peraturan yang seharusnya, hanya untuk golongan-golongan tertentu.
“Sehingga itu harus dikembalikan ke komunitasnya, dan itu harus kita tahu tidak boleh kita paksakan ke semua orang. Semacam didalam ilmu agama mana hadist Nabi yang hanya berlaku saat itu, mana yang berlaku sepanjang zaman. Jadi kalau sudah ditinggalkan oleh nenek moyang kita buat apa kita lakukan lagi,” ujarnya kepada MAL Online, di Kota Palu, Rabu (24/3).
Cerita Iksam, sejak awal naskah tersebut adalah hasil penelitian yang diterbitkan oleh Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi Daerah (Balitbangda) Provinsi Sultengm dengan tujuan untuk menjadi dokumen pengetahun daerah.
Beberapa nama yang ia sebutkan, menjadi tim ahli dalam penyusunan pelitian dokumen pengetahuan budaya itu, di antaranya adalah Hamdan Rampadio dan Tjatjo Al-Idrus.
“Itu ditulis dalam bentuk dokumen penelitian, sehingga bukan berarti untuk dijadikan bentuk peraturan, sebab belum tentu semua saya tuangkan di situ dengan tim kami. Kan ada yang belum tercantum, harus disesuaikan dengan kondisinya,” tegasnya.
Terlebih, lanjut Iksam, Kota Palu merupakan wilayah dengan penduduk yang sangat heterogen.
“Jadi begini, ada hukum adat yang bisa diberlakukan kepada semua komunitas. Hukum adat tentang apa hukum menjaga lingkungan supaya tetap bersih, menjaga sungai tetap bersih dan itu masih boleh semacam itu,” pungkasnya.
Rep: Faldi
Ed: Nanang