PALU- Kawasan konservasi perairan dan pulau-pulau kecil  di wilayah Sulawesi Tengah meliputi empat wilayah, dengan luasan total mencapai 1,7 Juta Hektare. Sedangkan kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil Banggai di Kabupaten Banggai, Banggai Kepulauan dan Banggai Laut tercatat seluas 869.059,94 hektare.

“Menyikapi pengelolaan kawasan begitu luas dan disadari memiliki beragam tentangan mengelolanya, maka direkomendasikan pembentukan masing-masing UPTD,” kata Kepala Bidang Pengelolaan Ruang Laut, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulteng, Moh. Edward Yusuf dalam diskusi virtual zoom diselenggarakan Relawan Orang dan Alam bersama Burung Indonesia, pekan lalu dalam rilis diterima MAL Online, Ahad (10/5).

Ia mengatakan, adanya UPTD  dapat membantu dan mendekatkan pelayanan, baik dalam hal perlindungan wilayah konservasi maupun pengelolaannya. Mengingat wilayah kawasan konservasi Banggai  cukup luas dibanding wilayah kawasan lainnya.

Edward, tidak menampik dukungan para pihak tentunya berperan dalam menjaga dan melindungi wilayah kawasan konservasi di Banggai, Banggai Laut maupun Banggai Kepulauan. Sehingga kata dia, bisa bersinergi bahkan bekerjasama dalam pengelolaan maupun perlindungannya.

“Saya sangat mengapresiasi apa dilakukan kawan-kawan LSM seperti ROA, SIKAP dan Japesda telah bersama-sama masyarakat membentuk kelompok-kelompok daerah perlindungan laut di beberapa lokasi diantaranya, di Uwedikan, Talang Batu, Luok, Bone-Bone dan Dungkean.

“Tentunya memiliki tujuan memanfaatkan, mengelola, melestarikan dan melindungi wilayah telah ditetapkan menjadi daerah perlindungan laut oleh kelompok di desa,” ungkapnya.

Ia menjelaskan, Luwuk Timur sebelumnya bukan menjadi wilayah pencadangan konservasi, akan tetapi kemudian menjadi wilayah kawasan zona merah. Namun berkat fasilitasi dan kajian ilmiah dilakukan di Desa Uwedikan oleh LSM Japesda, maka Uwedikan akhirnya ditetapkan menjadi salah satu wilayah kawasan konservasi.

“Nah itu salah satu bentuk-bentuk keterlibatan para pihak dan kami selaku pihak berwenang dan berkompeten, sangat menghargai kerja-kerja tersebut demi upaya bersama dalam mengelola kawasan konservasi di wilayah Banggai,” jelasnya.

Ia  menyebutkan, pihaknya telah mengagendakan empat kegiatan di 2020. Kegiatan itu yakni, penyediaan data series kawasan konservasi dan sudah terlaksana, kawasan zona inti telah ditetapkan, publikasi hewan laut  dilindungi, serta peningkatan peran serta masyarakat di kawasan konservasi.

“Dari keempat kegiatan tersebut, baru satu terlaksana. Tiga belum bisa dilaksanakan wilayah Sulteng, mengalami wabah Covid-19 sehingga terjadi perubahan yang mendasar dalam implementasi kegiatan,” ujarnya.

Akademisi dan Peneliti Untad, H.Samliok Ndobe menekankan, data dan informasi benar serta peran stakeholder, penting dalam konservasi perairan, dikaitkan dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) dan Rencana Pengelolaan Zonasi (RPZ).

“Tidaklah mudah dalam mewujudkan wilayah konservasi perairan jika tidak memiliki data dan informasi akurat. Terlebih lagi minimnya peran serta para pemangku kepentingan, atau stakeholder dalam membuat sebuah kesepakatan terkait pengelolaan kawasan,” kata Samliok.

Ia mengatakan, Data dan Informasi valid harud berdasarkan kajian-kajian ilmiah tepat, lengkap bahkan terkini. Stakeholders (pemerintah, masyarakat, swasta, akademisi, LSM ) seharusnya terlibat secara efektif, representatif, dengan perwakilan memahami pentingnya RZWP3K, serta memiliki kemampuan untuk melakukan peran mereka masing-masing dalam prosesnya.

Ia menyebutkan prinsip pemanfaatan kawasan konservasi Perairan berdasarkan PP No.60/2007 mempunyai fungsi utama, sebagai perlindungan habitat atau ekosistem, melaksanakan aktivitas sesuai dengan zonasi dan peruntukannya, memperhatikan daya dukung dan daya tampung.

“Paling penting melibatkan masyarakat setempat,” katanya.

Dia mengatakan, RZWP3K dan RPZ menjadi penting, karena kawasan pesisir, di daratan dan pulau-pulau kecil rawan. Diantaranya sangat banyak aktivitas dan kepentingan berbeda dan ekosistem yang penting, namun mudah terdegradasi.

Olehnya menurutnya, perlu kerangka kebijakan mengatur, mengimbangi kepentingan stakeholders secara adil, menjaga sumberdaya secara berkelanjutan dan membuka peluang pembangunan menuju masa depan yang lebih baik.

Ia menambahkan, bukan hal mudah dalam mengelola kawasan konservasi perairan dan pulau-pulau kecil.

“Semua itu tidak mudah  kemungkinan besar tidak dapat tersusun dengan sempurna dan atau kondisi berubah, maka revisi dapat dilakukan setiap 5 tahun sekali  terkecuali dalam berbagai kondisi tertentu,” katanya.

Selain itu, penting adanya monitoring dan evaluasi RPZ sebagai bagian integral dari siklus manajemen adaptif.

Lebih lanjut dijelaskan, Idealnya, RPZ mendukung pengelolaan kawasan  holistic dan tangguh terhadap perubahan dalam hal dapat maupun sulit diprediksi.

Salah satu aspek kata dia, diverifikasi dan menghindari ketergantungan berlebihan pada satu sektor atau aspek.
Suatu kelemahan RPZ Taman Pesisir Banggai adalah Visi hanya mengedepankan satu sektor “Mewujudkan Pengelolaan Taman Pesisir Banggai dan Perlindungan Banggai Cardinal Fish yang Efektif, Produktif, Berdayaguna dan Berkelanjutan untuk Kesejahteraan Masyarakat Melalui Kegiatan Pariwisata Bahari yang Berkelanjutan”.

“Sektor wisata bahari dan lainnya sangat labil, seperti terbukti saat ini dengan wabah covid-19 atau sebelumnya dengan aksi teroris dan lain-lain,” katanya.

Ia menyarankan, sebaiknya fokus pada sektor perikanan sebagai sektor unggulan. Potensi perikanan berkelanjutan dinilai besar, apalagi jika jalur untuk nelayan skala kecil dapat dijamin aman dari perikanan destruktif baik lokal dan dari luar daerah dan skala besar dan habitat dikelola dengan baik.

Sementara aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat Dolphin Indonesia, Saiful Sudin menegaskan, dengan melibatkan masyarakat pesisir, perlindungan terhadap ruang hidup laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil bisa dilakukan secara bersamaan.

“Karena sumber penghasilan masyarakat sebagian besar berasal dari sumber daya perikanan dan kelautan. Untuk itu, segala rencana  pembangunan sudah ada, harus ditinjau kembali oleh masyarakat dan segera melibatkan masyarakat di dalamnya,” tekannya.

Ia menyebutkan di beberapa daerah telah terbentuk Daerah Perlindungan Laut (DPL) seperti di Kelurahan Talang Batu, Desa Luok, Uwedikan, Lambangan, Bone-bone dan Dunkean.

“Hal ini merupakan inisiatif-inisiatif ditingkat masyarakat dalam membangun kerangka perbaikan, pelestarian bahkan perlindungan wilayah perairan termasuk pesisir selama ini menjadi wilayah penghidupan masyarakat setempat,” urainya.

Ia mengatakan, keberadaan kelembagaan dalam suatu kawasan baik berbentuk kelembagaan sosial maupun kelembagaan ekonomi sangat dibutuhkan terutama dalam mendukung eksisnya aktifitas sosial ekonomi masyarakat.

“Pada periode pelaksanaan penetapan kawasan DPL telah dibentuk beberapa lembaga khusus untuk menjalankan program-programnya,” katanya.

Dia mengatakan, keberadaan kelembagaan ini membawa dampak positif terutama bagi penyadaran masyarakat sekitar, DPL tentang pentingnya melindungi kawasan perairan tentunya juga memberi dampak ekonomi bagi masyarakat.

Ia menambahkan, berdasarkan informasi dari kawan-kawan melakukan pendampingan kelompok DPL, telah memiliki program masing-masing sehingga peran Dinas Kelautan dan Perikanan Sulteng bisa menjadi pihak mendukung aktivitas utamanya dalam pengembangan ekonomi berbasis wilayah pesisir  telah memiliki pula wilayah perlindungan sebagai wujud pengintegrasian program konservasi termasuk kompensasi bagi masyarakat memiliki program konservasi perairan.

“Ketidakberdayaan masyarakat pesisir secara umum antara lain disebabkan, keterbatasan mereka dalam penguasaan ilmu, teknologi, modal dan kelembagaan usaha,” katanya.

Pendekatan dapat dilaksanakan kata dia, dengan memperhatikan secara sungguh-sungguh aspirasi, keinginan, kebutuhan, pendapatan, dan potensi sumberdaya dimiliki, serta berpedoman pada beberapa faktor  mempengaruhi pendapatan masyarakat sekitar kawasan DPL.

“Penataan dan manajemen kelembagaan mengelola wilayah DPL harus dapat ditingkatkan lagi dan solusi dapat dilakukan dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat pesisir adalah mencanangkan program-program pemberdayaan kepada nelayan,” ujarnya.

Pemberdayaan dapat dilakukan kata dia, dengan pengembangan mata pencaharian alternatif, peningkatan akses modal bagi nelayan, peningkatan terhadap akses teknologi baik teknologi penangkapan atau budidaya maupun teknologi pengolahan hasil perikanan, memfasilitasi nelayan untuk meperoleh pasar layak dan pengembangan aksi kolektif atau kelompok usaha bersama. (Ikram)