OLEH: Jamaluddin Mariajang*
Dugaan kesewenangan pejabat kali ini dilakukan lagi oleh Rektor Untad. Di ujung Tahun 2021 minggu ke empat desember diputuskan pemberhentian Ketua LPPM Untad atas nama Dr. Muh Rusydi, M.Si, tanpa prosedur evaluasi jabatan sesuai ketentuan perundangan. Tindakan ini dianggap tidak patuh terhadap Asaz asaz Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan Nomor: 30 Tahun 2014.
Pokok soal ialah tidak ada kepastian hukum yang diberikan oleh pejabat berwenang. Mengapa diberhentikan seorang pejabat sebelum periode penugasannya selesai. Seharusnya ada hasil evaluasi terhadap kinerja. Sehingga ada alasan rasional untuk memberhentikan seseorang dari jabatannya.
Suatu kewenangan pemerintahan selalu dibatasi dengan aturan, supaya tidak ada kesewenang-wenangan.
Ini kasus kedua setelah setahun lebih Rektor berperkara secara hukum dengan Dr Nisbah M.Si dosen siosiologi Fisip Untad.
Bukti kesewenangan pejabat ialah bahwa keputusan kasasi PTUN telah menggugurkan SK Rektor dalam kasus pemberhentian Dr. Nisbah M.Si dari Wadek Bidang Akademik Fisip Untad. Status putusan telah dinyatakan berkekuatan hukum tetap.
Nyata bahwa rektor melakukan tindakan sewenang-wenang karena dianggap melanggar aturan (pasal 17 dan 18 Undang-Undang Nomor: 30 Tahun 2014, Jo pasal 68 Permenristekdikti Nomor: 8 Tahun 2015).
Barangkali ada beberapa kasus kesewenangan pejabat yang belum disorot secara kritis. Tetapi, kasus lain telah disikapi publik ialah penyalahgunaan wewenang dalam pembentukan lembaga lembaga yang tidak sesuai dengan Struktur Organisasi dan Tata Kerja Untad berdasarkan Permenristekdikti Nomor: 44 Tahun 2017.
Memang, dari pengamatan perilaku, terdapat sesuatu yang kontras dalam tindakan pribadi Mahfudz selaku Rektor. Banyak kolega dosen di Untad termasuk saya mengenal dekat yang bersangkutan, memiliki akhlak yang baik, inklusif dan moralis.
Tetapi, aneh bin ajaib, bila saat ini ada kesan kepribadian ganda pada pribadi Mahfudz selaku Rektor. Secara psikologis, seolah memiliki dua wujud karakter. Dia melakukan fungsi manifes normal selaku pejabat. Dalam praktik keseharian, dia menerima masukan dari bawahannya, netral, tidak buruk sangka, percaya pada bawahannya.
Akan tetapi berlawanan dengan itu, dia bisa juga mempertontonkan fungsi laten jabatannya. Keputusannya seperti firaun, tanpa memperdulikan hak hak bawahan yang dijamin oleh hukum. Kasar, dangkal pertimbangan logis dan berpihak pada kemudharatan.
Mungkin ada atau hadir para penasehat yang tampak intelek tapi lemah nalar. Setiap saat memberi masukan terhadap keputusan rektor yang kering etikanya itu?
Andaikan benar keterangan dari beberapa pihak, bahwa rektor sering mengeluh selalu mendapat tekanan, entah dari mahluk sejenis apa yang terkesan kasar dan biadab. Kesan ekspresi Mahfudz, mengutarakan kegundahannya menghadapi tekanan ketika membuat keputusan yang berlawanan dengan keinginannya. Dalam keadaan ini, maka sesungguhnya secara defacto Rektor bukanlah Mahfudz. Sosok biadab itulah sesungguhnya merampas kewenangannya sebagai Rektor.
Miris sekaligus aneh ada sosok yang begitu amat ditakuti Mahfudz sehingga membatalkan keyakinannya tentang kemahabesaran Allah SWT yang patut ditakuti, dicintai dan ditaati. Mahfudz lebih memilih bermaksiat terhadap yang haq (Allah SWT pemilik kebenaran) dari pada melawan tekanan yang menghantarnya pada kebathilan. Waliyadzu billah.
Benar atau tidak gejala psikologis tersebut, bisa menjadi paradoks yang melatari hidupnya sebuah oligarki di Untad. Salah satu indikator bercokolnya oligarki itu ialah wujud abstrak super ego yang mesubodinasikan kekuasaannya pada ego di bawahnya (baca; reduksionisme psikonalisa Sigmund Freud dalam Mazhab Kritis Frankfurt tentang kesadaran palsu). Semacam pengaruh satu arah elit politbiro komunis terhadap kekuasaan eksekutif pemerintahan. Maka secara teori, praktik ini mirip cara kerja PKI ketika mengendalikan kekuasaan Bung Karno. Apa yg kemudian dikenal dengan bahaya laten komunis. Dengan wajah serupa saat ini, wewenang Rektor Untad merupakan bayang kekuasaan laten yang ada di luar dirinya.
Bukti bukti kearah itu semakin tampak akhir akhir ini. Rotasi jabatan yang dilakukan Rektor baru baru ini menunjukan bekerjanya sebuah kemauan oligarki. Empat pimpinan lembaga yang dilantik seluruhnya berasal dari unsur pengajar dari fakultas pertanian Untad. Selain Itu Rektor dan Ketua Senat Universitas juga sama sama dari fakultas pertanian. Itulah peragaan nepotisme yang paling fulgar dalam sejarah Untad.
Menguasai posisi puncak pengambil keputusan di hampir semua lembaga itu, mengandung semacam kecurigaan. Ada kecenderungan bos oligarki ingin mempermudah aksesnya terhadap seluruh sektor pengelolaan keuangan universitas.
Pepatah mengatakan “hanya kuda juara yang bisa dipakai menangkap kuda liar”. Ditakwilkan bahwa “penguasa hanya bisa dikendalikan oleh tokoh yang juga pernah berkuasa. Majazi (analog) ini semakin memperjelas sosok bos oligarki itu.
Berdasarkan dalil majazi tadi sosok yang ditakuti Mahfudz ialah sosok yang pernah berkuasa. Jika demikian, maka hanya ada satu subjek yang layak mengeksplisitkan majazi ini yaitu, rektor yang pernah berkuasa di Untad (ex-rektor). Kalau bagitu, sedikit waktu lagi hasil explorasi akan menyebut nama subjek itu supaya afdhol secara hukum.
Problem psikologis Mahfudz ialah membiarkan jabatannya menjadi terminal lalu lalang kepentingan ex-rektor, terutama berkaitan dengan kebijakan pengelolaan keuangan Untad. Ia menggunakan seluruh kewenangan Rektor untuk mengontrol lansung penggunaan anggaran universitas. Termasuk juga menyingkirkan pejabat pejabat yang dianggap menghalang ambisinya sebagai bos oligarki.
Itu gejala yang kemudian memperlihatkan kesewenang wenangan Rektor. Mengganti pejabat seenaknya, mengendalikan pengelolaan keuangan, bikin unit kegiatan semaunya, program apa saja yang menguntungkan pribadi dan kroninya.
Kebathilan telah menguasai pandangan para pejabat yang menjadi kroni ex-rektor termasuk Mahfudz selaku real rektor. Menjadikan mereka semua buta terhadap norma bertindak yang taat aturan. Dalam kekalutan batin para pejabat itulah dipastikan terbentuknya perilaku dominan yang rawan kumudharatan, serta tidak mudah berubah dari dalam. Disinilah karakter “Abuse of Power” tampil dengan sempurna.
Kegelapan yang menutupi pandangan mereka, menyebabkan mereka laksana katak hidup di bawah tempurung. Waktu demi waktu cahaya kebenaran akan memendar dan membakar hangus dunia eksklusifitas mereka. Sebab, kejahatan akan selalu tertolak dalam kehidupan yang normal dan waras.
Diamnya masyarakat tidak berarti membiarkan kejahatan melumuri ruang pendidikan anak anak mereka yang dititip di Untad. Tetapi, ketulusan masyarakat cukup memberi waktu mereka kembali ke jalan yang lurus. Ada waktu untuk mempertanggung jawabkan perbuatan mereka di depan hukum.
*Penulis adalah Mustasyar NU Sulawesi Tengah dan Ketua PB Alkhairaat