PALU – Sejumlah penyintas bencana alam di Kota Palu menyatakan sikap enggan menyalurkan hak pilihnya pada Pilkada serentak tahun ini, baik Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur (Pilgub) Sulteng maupun Pemilihan Wali Kota/Wakil Wali Kota (Pilwakot) Palu.

Sikap tegas tersebut disampaikan menyusul kekecewaan mereka atas sejumlah permasalahan pascabencana yang hingga kini belum juga selesai.

Seorang tokoh perempuan di Hunian Sementara (Huntara) Pantoloan Ova, Ummi, Selasa (067/01), menegaskan enggan berkontribusi dalam Pilkada nanti, dengan berbagai alasan, di antaranya terbengkalainya fungsi pemerintah dalam menangani penyintas.

“Kalau toh memang itu dana jaminan hidup sebatas 60 hari, bagi kami tidak masalah, meskipun pembayarannya terlambat. Tapi itu bukan satu-satunya masalah yang ada di huntara,” tegasnya.

Masalah lain, kata dia, adalah huntara. Pemberian huntara pihak pemerintah memang membantu, akan tetapi pemenuhan fasilitas di huntara tidak pernah terwujud, di antaranya janji pemerintah provinsi maupun Kota Palu untuk membayar kebutuhan listrik dan air selama di huntara pada tiga bulan pertama.

“Tapi tidak satu bulanpun ada yang terealisasi sesuai apa yang sudah dijanjikan. Jangankan mau dibayarkan, lampu saja, dari pertama kita masuk tidak disediakan. Nanti kita beli sendiri,” keluhnya.

Menurutnya, apa yang diungkapkannya baru sebagian dari sekian masalah pascabencana. Belum lagi, kata dia, persoalan dana santunan duka, dana stimulan hingga tahap pendataan untuk mendapatkan hunian tetap yang selalu menjadi keluhan masyarakat.

Kata dia, ruwetnya pencairan dana santunan duka dan dana stimulant, juga tak berbeda jauh. Ia menilai, sistem pencairan yang dibuat pemerintah hanya mengulur-ngulur waktu. Proses pendataan yang terus dilakukan berulang-ulang membuat sejumlah penyintas gusar.

“Nanti ada maunya baru datang ke huntara, kalau saya tidak mau lagi memilih karena untuk apa dipilih juga kita tetap begini,” tegasnya.

Di tempat yang sama, Endang, seorang ibu rumah tangga juga turut mengeluhkan proses pendataan untuk mendapatkan huntap yang dinilai hanya mempermainkan warga.

“Lalu itu kita sudah isi formulir semua. Kita isi di situ maunya di huntap Tondo. Begitu kita ke sana, dibilang sudah penuh huntap. Eh mau bagaimana sudah ini dan,” kesal Endang.

Ia berharap kepada pemerintah untuk menyiapkan lahan yang tak jauh dari tempat mereka mencari penghidupan.

Sebab sebagian besar warga penyintas di Huntara Pantoloan Ova bekerja sebagai nelayan dan buruh kapal. (FALDI)