PALU – Provinsi Sulawesi Tengah dinilai masih perlu upaya serius dan masif untuk mencapai penurunan angka prevelensi stunting sebesar 11 persen pada 2026.
Hal tersebut disampaikan Dr. Hasanuddin Atjo dalam Diskusi Publik Pembangunan Sulteng yang berlangsung melalui zoom, Senin (30/01) malam.
Menurutnya, hal itu harus dilakukan secara terencana, dipetakan secara baik dan harus didukung oleh komitmen anggaran yang cukup, serta keterlibatan banyak pihak. Atjo khawatir, targer tersebut bisa tidak tercapai, mengingat dalam beberapa tahun terakhir penurunan angka prevalensi stunting cenderung kecil.
“Tahun 2020 angka prevalensi stunting untuk Sulteng 31,26 persen. Pada 2021, 29,7 persen dan pada 2022 sebesar 28,2 persen. Hanya 1,5 persen per tahun,” kata mantan Kepala Bappeda Sulteng ini.
Kemudian, kata dia, jika dilihat target pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2020-2026, Sulteng menargetkan penurunan angka prevalensi stunting menjadi 11 persen di akhir 2026.
“Ini bisa jadi akan tercapai jika semua upaya dilakukan dengan perencanaan dalam sebuah skenario yang benar sehingga pencapaian target bisa efektif,” tekannya.
Ia menyarankan, perlu ada evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah, tentang apa yang dilakukan pada tiga tahun belakangan, yang hanya mampu menurunkan 1,5 persen saja.
“Harus dievaluasi sudah berapa besar anggaran yang turun, siapa saja yang terlibat dalam upaya itu sehingga strategi ke depan sampai 2026 bisa berjalan efektif,” kata Atjo.
Atjo juga menyarankan perlunya pemetaan yang komprehensif terhadap daerah-daerah yang angka stunting-nya tinggi, bagaimana pengalokasian anggaran, dan bagaimana keterlibatan pihak swasta untuk memikirkan bersama.
Sebab, kata dia, pemerintah tidak mungkin mampu menangani masalah stunting sendiri dengan anggaran yang ada.
“Masih banyak soal lain yang harus dikerjakan, seperti masalah ekonomi, pendidikan dan infrastruktur,” tutupnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Provinsi Sulteng, Tuty Zarfiana, menyampaikan, pihaknya sudah mempunyai roadmap terkait penanganan stunting, untuk mencapai target penurunan sebesar 11 persen pada akhir 2026.
Dalam menentukan roadmap, kata dia, pihaknya sudah melakukan komunikasi dengan para kepala daerah di Sulteng. Setiap kepala daerah telah menentukan lokus stunting di wilayah masing-masing.
Menurutnya, indikator penentuan lokus tersebut adalah kawasan pemukiman dengan rumah tidak layak huni, jamban tidak layak, sumber air minum dan angka kasus stunting pada keluarga.
“Dari hasil pemetaan itu, pada 2023 di Sulteng tardapat 541 desa lokus stunting dengan jumlah keluarga yang berisiko stunting sebesar 408.242 dan jumlah kasus stunting 32,90 persen pada 6250 anak,” jelasnya.
Selanjutnya, kata dia, saat ini pemerintah melalui Bappeda telah melakukan program dan penganggaran berdasarkan roadmap yang ada, dengan melibatkan instansi teknis terkait yang melakukan intervensi sensitif dan spesifik.
“Bappeda memberikan banyak anggaran pada intervensi sensitif,” imbuhnya.
Kegiatan diskusi daring yang digagas Forum Diskusi Bangun Sulteng (FDBS) tersebut melibatkan sedikitnya lima pembicara utama dan lima penanggap dari berbagai disiplin ilmu dan profesi.
Forum ini diprakarsai Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Silo Langi FKIP Untad, Yayasan Libu Empati Indonesia (LEI), Forum Komunikasi Masyarakat Kaili (FKMK), Himpunan Pemuda Alkhairaat (HPA) Sulteng, Media Alkhairaat dan Studio Terompa, PT Cipta Indah Sulawesi.
Forum diskusi ini dijadwalkan akan berlangsung setiap akhir bulan pada tahun 2023, menghadirkan para pembicara yang kompeten di bidangnya dengan isu beragam yang berkaitan dengan pembangunan Sulteng. */RIFAY