DONGGALA – Kepala Perwakilan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Sulawesi Tengah (Sulteng) bersama Asisten ORI Sulteng, Nasrun dan Direktur NGo KOMIU, menyerahkan 89 Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan 27 Kartu Keluarga (KK) kepada penduduk Ape Maliko, Kabupaten Donggala, Sabtu (19/02).
“Kembali janji terbayar tunai. sekretaris desa menjadi saksi penyerahan dokumen kependudukan secara gratis ini,” ujar Kepala ORI Sulteng, Sofyan Farid Lembah, kepada media ini.
Kata dia, layanan jemput bola administrasi kependudukan (adminduk) ini adalah program kolaboratif ORI Perwakilan Sulteng bersama NGo KOMIU, Himpunan Wanita Penyandang Disabilitas Indonesia (HWDI) , Dinas Sosial serta Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kabupaten Donggala.
“Program ini difasilitasi donor Atlas Alliance dan Norwegian Human Rights Fund. Program kolaboratif ini khusus pada pelayanan kelompok sasaran Penyandang disabilitas di Komunitas Adat Terpencil (KAT) di Kabupaten Donggala,” katanya.
Menurutnya, masyarakat di enam desa yang masuk dalam wilayah KAT di Kabupaten Donggala sangat antusias mengikuti program ini. Mereka sudah menyadari bahwa dokumen kependudukan sudah menjadi kebutuhan masyarakat, sama pentingnya dengan pelayanan dasar lainnya, seperti pendidikan dan kesehatan.
Masyarakat Ape Maliku dari rumpun adat Kaili Rai dan Kaili Kori adalah komunitas adat yang dikelilingi kawasan perkebunan kelapa sawit, PT Donggala Sawit Hijau dan kawasan pertambangan emas dari perusahaan pemegang IUP, PT. VIO.
“Ketenangan desa kini bisa terancam pada berkurangnya sumber daya air yang bakal tersedot oleh kelapa sawit juga bakalan terancam pada konflik laten antara penambang dengan masyarakat petani, juga masalah lingkungan yang tercemar manakala pengelolaan keduanya tidak memperhatikan dokumen AMDAL yang telah disusun,” tuturnya.
Terlebih, kata dia, bila akses masyarakat sama sekali tidak diberikan, maka kasus di Buranga, Kayuboko, Kasimbar, Dongi Dongi, Poboya, Perkebunan Sawit di ASTRA, PT Buana Sonokeling dan PT Hardaya Inti Plantation Buol-Tolitoli, bisa terulang di Ape Maliko.
Namun terlepas dari ancaman tersebut, lanjut dia, saat ini bagi masyarakat setempat, termasuk tetangga di Saloya, terpenuhinya layanan adminduk sudah sangat melegakan.
“Lupakan dulu tantangan masa depan, hari ini secara legal mereka telah menjadi warga negara lengkap, termasuk Kepala Suku, Todi dari Komunitas Kaili Kori.
Senyum di wajahnya menyiratkan banyak makna. Bagi mereka, perlawanan belum ditabuh karena dalam setiap pengambilan kebijakan atas pengelolaan sumber daya alam di wilayahnya, mereka selalu dinafikkan.
Sama halnya dengan kebahagiaan dengan Lanasir dan Djahra, penduduk Saloya yang butuh 70 tahun untuk mendapatkan KTP. Juga dengan Lamakasia, penduduk Kumbasa yang butuh 87 tahun baru mendapatkan KTP. ***