PALU – Adanya informasi beredar pernyataan dalam sebuah tulisan “Megalitikum Tertua di Indonesia ternyata bukan di Sulawesi Tengah, tapi di Gunung Padang”. Dalam tulisan yang cenderung provokatif, karena situs yang dibandingkan merupakan situs megalitikum yang ada di Sulawesi Tengah (Sulteng) atau tepatnya berada di wilayah Kabupaten Poso dan Kabupaten Sigi lebih tepatnya.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Badan Riset dan Inovasi Daerah (Brida) Provinsi Sulawesi Tengah, Faridah Lamarauna, dan Koordinator Tenaga Ahli Cagar Budaya (TACB) Provinsi Sulteng, Haliadi Sadi menanggapinya.
Dalam pernyataannya, Faridah Lamarauna menegaskan, bahwa Indonesia adalah negeri yang kaya akan keanekaragaman flora dan fauna, negeri yang kaya akan peninggalan sejarah, dan negeri yang kaya akan peninggalan situs arkeolog khususnya megalit. Yang terpenting adalah bagaimana agar kekayaan tersebut dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat melalui kegiatan riset dan pelestarian.
“Jika memang fakta riset menerangkan bahwa situs gunung padang adalah situs megalitikum tertua di Indonesia, maka hal tersebut tentunya merupakan kebanggaan bersama. Akan tetapi, perlu saya sampaikan juga bahwa situs megalitikum yang ada di Sulawesi Tengah itu diperkirakan berasal dari 3000 tahun sebelum masehi. Untuk hal tersebut, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah akan membuktikannya melalui riset lebih mendalam lagi,” jelas Faridah, di Palu (12/09).
Untuk mengungkap lebih jauh mengenai usia dan potensi-potensi lainnya dari situs megalitikum yang ada di Sulteng, Pemerintah Provinsi Sulteng melalui Brida provinsi, tengah melakukan riset penyusunan profil dan pemetaan situs megalitikum yang di empat lembah tersebut.
“Saya berharap riset yang kami lakukan dapat mengungkap fakta-fakta tentang megalitikum di Sulawesi Tengah, sekaligus tentunya dokumen yang dihasilkan dari riset tersebut dapat menjadi dukungan untuk penetapan situs megalitikum yang ada di Lembah Bada, Lembah Behoa, Lembah Napu, dan Lembah Palu dapat ditetapkan menjadi situs warisan dunia oleh UNESCO,” harap Faridah.
Dihubungi di tempat terpisah, Koordinator TACB Sulteng, Haliadi Sadi, juga turut memberikan tanggapannya mengenai tulisan yang dipublikasi di laman tersebut. Haliadi menerangkan, bahwa perbandingan terhadap dua obyek cagar budaya yang berbeda tempat sungguh belum pantas. Hal ini disebabkan penelitian kedua obyek ini belum tuntas dilakukan karena masih berlangsung.
Menurut Undang-Undang nomor 11 tahun 2010, objek tersebut belum ditetapkan statusnya apakah masuk kedalam kategori benda, bangunan, situs, struktur, dan kawasan. Artinya kedua obyek megalithikum ini juga masih dalam proses riset. Selain itu juga, fakta dating atau penanggalan kedua obyek cagar budaya ini belum ada kepastian.
“Penelitian yang dilakukan oleh tim Ardi Wibowo telah melengkapi atau pengembangan penelitian terdahulu. Situs Gunung Padang dikenalkan pertama kali oleh, Rapporten Van De Oudheid-kundigen Dienst tahun 1914, lanjutan dilaporkan Nj. Krom tahun 1949 dan penduduk melaporkan situs ini pada tahun 1979,” ungkap Haliadi.
Lebih lanjut Haliadi menjelaskan, riset geologi yg menarik dari Sutikno Bronto, tahun 2012 menemukan bahwa gunung padang merupakan struktur kekar kolom leher gunung yang berserakan. Yang kemudian ditata menjadi punden berundak untuk kemungkinan pemujaan tradisional. Batuan andedit ini diperkirakan 32,30 kurang lebih 0,30 jtl (oligosen bawah). Penelitian ini didasari oleh riset yang dilakukan Sujatmiko 1972 lalu Koesmomo dan kawan-kawan di tahun1996.
Hal ini juga Savitri 2013 melakukan riset perupaan terhadap gunung padang bahkan diklaim menjadi situs megalithikum terbesar di Asia Tenggara seluas 3.132,15 m2 di koordinat 6057’ls 10701’bt yang diperkirakan 8000 tahun yang lalu. Ini merupakan sebuah hipotesa dan bukan hasil riset yang paten.
Selanjutnya, di situs megalithikum di empat lembah (Lembah Bada, Lembah Behoa, Lembah Napu, dan Lembah Palu) yang telah diperkenalkan secara awal oleh Alb. C. Kruyt dan Nicolaus Adriani pada tahun 1889 dan 1908, merupakan lanjutan riset tentang obyek megalithikum Sulteng P. Ten Kate 1910, Walter Kaudern antaran tahun 1917-1921, Haris Sukendar tahun 1971, Mendikbud tahun 1980, Puslit dan Balar Manado 1991, juga tim Delienasi 2018 dan akhirnya hasil riset Tim TACB Provinsi Sulawesi Tengah dengan Brida Provinsi Sulawesi Tengah sebagai upaya untuk mendukung pencanangan, Sulawesi Tengah Negeri Seribu Megalit.
Lebih lanjut, Haliadi menjelaskan, kemungkinan benda cagar budaya masih banyak yang belum ditemukan di kawasan taman nasional Lore Lindu. Mengenai dating juga masih beberapa hipotesa dan argumentasi antara 3000 hingga 8000 tahun yang lalu. Ciri khas wilayah temuan megalithikum di Sulteng bukan di gunung, tetapi di bukit yang dicirikan dengan Lembah. Sehingga penyebutan megalithikum Sulteng ini tersebar di empat lembah.
“Dari hipotesa tersebut sangat tidak etis secara akademik jika membandingkan mana yang tertua dan mana yang muda. Untuk itu, perlunya riset yang berkelanjutan untuk membuktikan hal tersebut,” imbuh Haliadi.
Selanjutnya, Haliadi juga menjelaskan, kedua objek tersebut memiliki tempatan yang berbeda. Situs Gunung Padang berada di paparan Sunda sedangkan Situs Megalithikum Sulawesi Tengah berada di Pulau Sulawesi dimana berada di garis lintang Walacea yang menjadi pembeda antara paparan sahul dengan paparan sunda. Haliadi selaku periset Sulawesi Tengah mengingatkan kembali, bahwa apabila belum mengetahui tentang megalithikum Sulteng secara inheren dari perspektif apapun, kiranya untuk tidak membanding-bandingkan.
“Potensi obyek cagar budaya di Indonesia memiliki keunikan atau cirikhas sendiri-sendiri yang perlu diriset secara transdisiplin. Karena semuanya menjadi potensi peradaban dan kebudayaan bangsa Indonesia.” tutup Haliadi.
Reporter : Hadi
Editor : Yamin