Peningkatan Kompetensi Penceramah, Ketua ISNU: Jadikan Agama sebagai Basis Moral Kebangkitan

oleh -
Ketua ISNU Sulteng, Sahran Raden, didampingi moderator, Ridwan Laki, saat membawakan materi pada kegiatan peningkatan kompetensi penceramah agama Islam, Ahad (18/06). (FOTO: IST)

PALU – Ketua Pengurus Wilayah (PW) Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Sulawesi Tengah (Sulteng), Dr Sahran Raden, tampil sebagai salah satu pemateri peningkatan kompetensi penceramah agama Islam yang dilaksanakan oleh Kementerian Agama (Kemenag) Provinsi Sulteng, Ahad (18/06).

Pada kesempatan itu, Alumni Lemhanas Tahun 2010 ini membawakan materi “Memperkuat Wawasan Ke-Indonesia-an dan Ketahanan Nasional menuju Masyarakat yang Harmonis dan  Konstitusional”.

Ia memaparkan mengenai beberapa hal yang bisa dilakukan dalam upaya memperkuat ke-Indonesia-an. Salah satunya adalah menjadikan agama sebagai basis moral kebangkitan.

Selain itu, lanjut dia, hal lain yang perlu dilakukan adalah penegakan keadilan dan perlindungan hak asasi manusia, membangun kesadaran berkonstitusi dan memperkuat hubungan suprastruktur politik dan inprastruktur politik.

Selanjutnya, kata dia, memperkuat system desentralisasi pemerintahan daerah dalam bingkai NKRI serta memperkuat literasi digitalisasi dan membangun kesadaran teknologi informasi.

Ia juga menguraikan beberapa tantangan ke-Indonesia-an yang dihadapi saat ini, antara lain globalisasi, politik dan  demokrasi electoral, kemajemukan dan kebhinekaan, serta kemiskinan dan SDM yang rendah.

Menurutnya, dari sisi globalisasi, tantangan yang dihadapi adalah membanjirnya produk impor.

“Dalam globalisasi kita dihadapkan pada berbagai produk luar negeri, mulai dari berbagai barang elektronik, mobil, dan motor adalah produk milik perusahaan di luar negeri,” jelasnya.

Selain, itu, lanjut dia, bangsa Indonesia sendiri menjadi ketergantungan terhadap negara maju, lapangan kerja semakin sempit, terjadinya kompetisi tenaga kerja, serta banyaknya tenaga kerja asing.

“Dampak selanjutnya adalah kerusakan lingkungan dan juga memudarnya nilai dan pergaulan sosial antar komunitas budaya,” ujar Dosen Hukum Tata Negara, Fakultas Syariah UIN Datokarama Palu itu.

Sementara dari sisi politik dan demokrasi electoral, lanjut dia, tantangan yang dihadapi adalah peran hubungan antara suprastruktur politik dan infrastruktur politik dalam penyeimbangan politik pemerintahan.

Selain itu juga maraknya politik identitas atau adanya perilaku politik mayoritas minoritas.

Hal ini, kata dia, berkaitan langsung dengan menguatnya bentuk polarisasi kampanye  pemilu serta penyebaran ujaran kebencian melalui berita hoaks dan tumbuhnya pandangan atas pemilik kebenaran.

“Dampak lain dari sisi politik dan demokrasi electoral ini adalah rumitnya teknis administrasi Pemilu Serentak dengan 5 surat suara,” jelas mantan komisioner KPU Provinsi Sulteng ini.

Tantangan lainnya adalah kemajemukan dan kebhinekaan, di mana adanya perbedaan yang berpotensi adanya konflik sosial dan terganggunya harmonisasi. Kemudian, lanjut dia, tumbuhnya intoleransi dan kekerasan yang menjadi ancamanan bagi kebhinekaan.

Pada dasarnya, kata dia, lonstruksi ke-Indonesia-an terbangun dari ruh dan elemen-elemen masyarakat yang heterogen, baik secara suku, budaya, agama dan bahasa. Maka dari itu, perlu menjadikan keragaman dan segala perbedaan untuk mempererat serat-serat kebangsaan yang kerap rapuh terputus.

“Perlu peran perawat kebhinekaan untuk membangun kebersamaan dan menjadikan keberagaman sebagai mutiara kebangsaan,” tegasnya.

Tantangan terakhir adalah dari sisi kemiskinan dan SDM yang rendah. Ia menjelaskan, pada September 2022, garis kemiskinan berada di angka Rp.535.000 per kapita per bulan. Sementara jika dibandingkan September 2021, terjadi kenaikan 10,16%.

Menurut BPS, berdasarkan pulau, kenaikan kemiskinan tertinggi terjadi di Maluku dan di Papua. Sedangkan penurunan jumlah penduduk miskin hanya terjadi di Sumatra pada September 2022 menjadi 5,76 juta jiwa. Adapun angka kemiskinan tertinggi tetap berada di pulau Jawa yang jumlahnya mencapai 13,94 juta jiwa. Sedangkan kemiskinan di pulau lainnya bervariasi, mulai dari 1-2 juta jiwa.

Menurutnya, kebijakan yang perlu dilakukan dalam mengurangi kemiskinan, antara lain melindungi keluarga dan kelompok masyarakat yang mengalami kemiskinan, membantu masyarakat yang mengalami kemiskinan kronis dengan memberdayakan dan mencegah terjadinya kemiskinan baru.

“Setiap generasi berperan dalam pengontrolan pemanfaatan sumber daya alam Indonesia, berperan dalam pembuatan home industri kebutuhan sandang pangan, berpartisipasi dalam kegiatan bansos untuk membantu desa maupun masyarakat yang kurang mampu,” katanya.

Demikian halnya dari sisi kualitas SDM. Kata dia, berdasarkan analisis teori lingkaran kemiskinan, didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan timbal balik antara kualitas sumber daya manusia dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

“Maka perlu meluruskan kiblat pembangunan sebagaimana dalam Konstitusi Pasal 33 uud 1945 sebagai raod map pembangunan kesejahteraan yang inklusif,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa pembangunan inklusif, di mana pertumbuhan yang mengalokasikan secara tepat untuk menjamin setiap kelompok masyarakat setara memiliki peluang yang sama dari manfaat yang sama dalam kesejateraan, pendidikan, kesehatan dan hak-hak sipil lainnya.

Ia menegaskan, ke-Indonesia-an hanya dapat kuat karena dibangun atas rasa yang sama sebagai suatu identitas kebangsaan di tengah kemajemukan.

“Ke-Indonesia-an dan ketahanan nasional dapat kuat jika kita bersama membangun kesadaran sebagai suatu bangsa yang memiliki konstitusi yakni Pancasila dan UUD 1945 sebagai suatu system norma hukum dan juga memuat system norma etika dalam kehidupan bersama,” pungkasnya. RIFAY