Penghentian Operasional Kebun Plasma Upaya Dapatkan Keadilan

oleh -

BUOL- Petani pemilik lahan program plasma perkebunan sawit bermitra dengan PT. Hardaya Inti Plantations (PT. HIP) menghentikan operasional kebun plasma, karena merasa telah dirugikan dalam kerja sama dibangun puluhan tahun lamanya.

Kemitraan Inti-Plasma dalam Perkebunan sawit, melalui pola Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA) maupun Revitalisasi Perkebunan dijalankan oleh PT HIP di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah terbukti merugikan pemilik lahan dan cenderung mengarah pada praktik land grabbing (perampasan tanah) berkedok kerja sama/kemitraan.

Pemilik lahan menghentikan operasional kebun plasma untuk sementara, sampai adanya pemenuhan hak para petani pemilik lahan.

Koordinator Forum Petani Plasma Buol (FPPB) Fatrisia Ain menjelaskan, lebih dari 16 tahun kemitraan pembangunan kebun plasma antara petani pemilik lahan melalui 7 koperasi dengan PT. HIP dengan pola managemen satu atap (dikelola Inti), yang melibatkan + 4.934 orang dengan luas lahan + 6.746 ha, telah merugikan pemilik lahan dan hanya menguntungkan pihak PT. HIP.

“Lahan-lahan dikerjasamakan untuk pembangunan kebun plasma merupakan lahan hak milik masyarakat, berupa, lahan usaha dua (LU.2) Transmigrasi, lahan Transmigrasi Swa Mandiri (TSM), lahan ulayat dan lahan-lahan produktif masyarakat,”tutur Fatrisia dalam keterangan tertulis diterima Media Alkhairaat.id, Selasa (9/1).

Ia mengatakan, setiap hari kebun-kebun plasma menghasilkan hingga ratusan ton Tandan Buah Segar (TBS) tetapi pemilik lahan tidak diberikan bagi hasil kebun, sebaliknya para pemilik lahan justru dibebani utang hingga + Rp590 miliar

“Sungguh beban utang tidak masuk akal,terlebih beban utang juga diberikan kepada dua dari tujuh koperasi telah lunas utang kredit di bank,”ucapnya.

Selain itu kata dia,pihak PT. HIP secara sepihak mengambil sertifikat hak milik (SHM) jaminan utang kredit di Bank yang sudah lunas dan menahan SHM hingga saat ini.

Dia memaparkan,pengelolaan kebun plasma melalui menejemen satu atap (dikelola oleh PT. HIP), menjadikan pemilik lahan tidak dilibatkan dalam pengelolaan kebun, sehingga mereka tidak memiliki akses informasi mengenai pengelolaan kebun, mulai dari pembangunan kebun, perawatan kebun hingga hasil panen sehingga rentan manipulatif.

“Sistem ini diperburuk oleh pengurus-pengurus koperasi tidak transparan bahkan bertolak belakang dengan aspirasi pemilik lahan sebagai anggotanya,’katanya.

Ia mengatakan, praktik kemitraan ini telah menyebabkan para pemilik lahan kehilangan mata pencaharian dari tanah mereka, sehingga banyak diantara mereka menjadi buruh tani, termasuk sebagian dari mereka “terpaksa”menjadi buruh tempel (bantu) yang tidak terdaftar sebagai buruh PT. HIP

“Sehingga tidak mendapat jaminan keselamatan kerja dan hak-hak lain sebagaimana buruh pada umumnya,” katanya.

Pekerjaan tersebut, ujar dia, terpaksa dilakukan karena tidak ada pilihan lain, meskipun dengan risiko kerja berbahaya, dengan pendapatan sangat redah hanya rata-rata enam sampai delapan ratus ribu rupiah dalam satu bulan.

Reporter: */IKRAM