PALU – Anggota DPR RI, Syarifuddin Sudding menyatakan bahwa pihaknya tidak menemukan adanya kesalahan yang dilakukan pihak kepolisian dalam pengamanan eksekusi lahan Tanjung Sari, Kelurahan Keraton, Kota Luwuk, Kabupaten Banggai, 19 Maret silam.
“Polisi hanya memenuhi permintaan Ketua Pengadilan Negeri Luwuk untuk mengamankan jalannya eksekusi. Hal itu sudah dilaksanakan dengan baik,” katanya, terkait hasil kunjung kerja Komisi III DPR RI di Luwuk, Selasa (10/04).
Sudding, legislator dari Partai Hanura, Daerah Pemilihan (Dapil) Sulteng itu hadir bersama delapan anggota Komisi III lainnya di Kota Luwuk sejak Senin (9/4) untuk menyerap informasi langsung dari masyarakat dan instansi terkait pasca insiden eksekusi lahan Tanjung Sari.
Menurut Sudding, semua anggota Komisi III sepakat bahwa polisi tidak melakukan kesalahan dalam peran mereka mengamankan jalannya eksekusi.
“Kalaupun saat itu terjadi perlawanan dari masyarakat yang tinggal di atas lahan dan menjadi korban eksekusi, polisi telah melakukan langkah-langkah antisipasi dan penanganan yang baik,” ujarnya.
Ketika diminta tanggapannya terhadap pencopotan Kapolres Banggai AKBP Heru Pramukarno hanya beberapa hari setelah pelaksanaan eksekusi dan disusul dengan terbitnya Surat Telegram Kapolri pada tanggalk 8 April 2018 yang memutasi Kapolda Sulteng Brigjen Pol. I Ketut Argawa ke Mabes Polri, dia mengatakan bahwa pihaknya akan membicarakan hal itu dengan Kapolri.
Pihaknya juga akan meminta Komisi Yudisial memeriksa Ketua Pengadilan Negeri (PN) Banggai, Ahmad Yani.
“Setelah kami turun ke lapangan dan mendengar dari para korban eksekusi serta pejabat instansi terkait, kami menilai ada ‘eror in persona’ pada Ketua PN Banggai selaku pelaksana eksekusi,” katanya.
Pihaknya juga akan meminta Badan Pengawas Mahkamah Agung (MA) untuk memeriksa panitera PN Banggai selaku eksekutor dan seluruh jajaran terkait eksekusi tersebut.
“Ini merupakan kesimpulan kami setelah berdialog dengan para korban eksekusi serta pejabat instansi terkait seperti Ketua Pengadilan Tinggi Sulteng, Kajati Sulteng, Kapolda Sulteng, pejabat yang mewakili Gubernur Sulteng, Kakanwil Badan Pertanahan Nasional Sulteng dan Bupati Banggai,” ujarnya.
Meski demikian, dia tidak merinci penyimpangan-penyimpangan hukum dalam eksekusi lahan tersebut sehingga diperlukan keterlibatan KY, MA dan Bareskrim Polri.
Eksekusi yang berlangsung pada Senin, 19 Maret 2018 tersebut adalah episode kedua. Tahap pertama telah dilakukan di 40 titik yang sama tahun 2017 silam.
Kasusnya bermula dari gugatan yang dimenangkan pihak ahli waris keluarga Ny. Berkah Albakkar melalui putusan MA No. 2351.K/Pdt/ 1997 dengan pokok sengketa dua bidang tanah.
Pada tahun 2006, pihak ahli waris mengajukan permohonan eksekusi diatas tanah sengketa kepada PN Luwuk dan Pengadilan Tinggi (PT) Sulteng, dengan berpedoman pada diktum putusan MA itu. Namun permohonan ditolak dengan alasan pertimbangan pokok sengketa hanyalah dua bidang tanah. Sedangkan luasan tanah yang diajukan untuk eksekusi seluas kurang lebih 6 hektar.
Anehnya, pada tahun 2016, pihak PN Luwuk mengabulkan permohonan pihak ahli waris tersebut. (FALDI/ANT)