PALU – Pengamat ekonomi juga Lektor Kepala Ekonomi Internasional pada Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tadulako, Ahlis Djirimu mengatakan, mengkritik pemerintah provinsi Sulawesi Tengah, atas peningkatan jumlah penduduk miskin Sulteng.
Dari catatan BPS, pada September 2022 dari 388.350 jiwa pada Maret 2022 menjadi 389.710 jiwa pada 2022. Dia menyatakan bahwa proporsi orang miskin di Sulteng mencapai 1,48 persen dari jumlah penduduk miskin Indonesia yang mencapai 26.360.000, jiwa, walaupun persentasenya turun sedikit dari 12,33 persen menjadi 12,30 persen.
“Kenaikan jumlah penduduk miskin sebenarnya sudah saya prediksi sebelumnya, yakni karena kenaikan harga BBM bersubsidi pada 3 September 2022 lalu, yang seharusnya diantisipasi juga oleh Pemerintah Daerah mengikuti kebijakan Pemerintah Pusat, sebagai kompensasi kenaikan harga BBM bersubsidi berupa BLT, padat karya dan bantuan sembako. Sayang hal ini tidak dilakukan,” ujar Ahlis Djirimu kepada Media Alkhairaat Online, Senin (30/1).
Menurutnya, penurunan angka kemiskinan di Sulteng hanya berasal dari usaha Pemerintah Pusat melalui APBN, dengan cara pemberian bantalan sosial baik Bantuan Langsung Tunai (BLT), Padat Karya Dana Desa, Bantuan Subsidi Upah (BSU), Anggaran Penanganan Inflasi. Pemerintah Pusat memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar Rp134, triliun atau Rp600 ribu ke Rumah Tangga Miskin (RTM) dan pemberian Subsidi Upah Pekerja yang Berstandar Upah di bawah Rp3,5 juta per bulan dengan total general Rp9,6 triliun, Padat Karya Kementrian PUPR sebesar Rp13,7 triliun menyasar pada 652.264 orang, Kartu Pra Kerja Rp22 triliun, KUR Super Mikro Rp21,2 triliun di luar Rastra, KIP, KIS, PKH, BLT Dana Desa, Subsidi Listrik dan LPG.
Sebagai kompensasi atas kenaikan harga BBM bersubsidi, pada Oktober 2022, Pemerintah Pusat menggelontorkan di Provinsi Sulteng, alokasi anggaran Penanganan inflasi mencapai Rp139,65 miliar sebagai cara melindungi daya beli masyarakat miskin dari ketidakmampuannya memenuhi kebutuhan dasarnya sebagai akibat dari efek domino kenaikan harga BBM bersubsidi. Dari jumlah tersebut, realisasinya hanya mencapai Rp95,66 miliar atau proporsinya mencapai 71,22 persen.
Dari jumlah tersebut, data realisasi per 13 Januari 2023, paling tinggi oleh satuan Kerja Kabupaten Sigi sebesar Rp3,41 miliar, dan Satuan Kerja Kabupaten Tolitoli sebesar Rp3,44 miliar atau masing-masing 100 persen, diikuti oleh Satuan Kerja Kabupaten Donggala mencapai Rp3,58 miliar dari alokasi sebesar Rp3,64 miliar, atau proporsinya mencapai 98,38 persen lalu Satuan Kerja Kabupaten Banggai Kepulauan sebesar Rp3,02 miliar dari alokasi Rp3,08 miliar atau proporsinya mencapai 98,17 persen. Kabupaten lain yang terealisir di atas 80 persen selain daerah di atas adalah Banggai, Tojo Una-Una, Banggai Laut dan Kota Palu. Sebaliknya, lima daerah mempunyai realisasi rendah yakni Kabupaten Buol mencapai Rp1,5 miliar atau hanya 51,66 persen, Morowali sebesar Rp9,04 miliar atau 40,40 persen, Parigi Moutong sebesar Rp1,61 miliar atau 34,81 persen, Morowali Utara sebesar Rp1,07 miliar atau 29,58 persen. Realisasi paling rendah adalah Kabupaten Poso hanya Rp617,31 juta dari alokasi Rp7,41 miliar atau proporsinya hanya 8,33 persen. Sedangkan realisasi Satuan Kerja Provinsi Sulteng hanya mencapai Rp53,1 miliar dari Rp68,4 miliar atau 77,63 persen.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa ada tiga hal yang patut digarisbawahi. Pertama, daerah-daerah yang mempunyai realisasi rendah relatif tidak mempunyai sense of crisis terhadap antisipasi kenaikan, baik terhadap jumlah penduduk miskin maupun terhadap persentase kemiskinan sebagai akibat dari kenaikan harga BBM bersubsidi. Kedua, koordinasi antara Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) di tingkat provinsi dan di tingkat kabupaten/kota belum berjalan optimal.
Ketiga, Koordinasi Tim Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) Provinsi Sulteng dan TKPK Kabupaten/Kota belum berjalan sebagaimana mestinya. Ketidakpahaman pada implementasi dokumen Rencana Penanggulangan Kemiskinan Daerah (RKPD) periode 2021-2026 yang sudah siap diimplementasikan tidak dilaksanakan sejak 2022.
Sementara, Maret 2022 kedalaman kemiskinan di perkotaan mencapai 1,49 poin pada September 2022 menjadi 1,83 poin. Keparahan kemiskinan pada maret 2022 mencapai 0,41 poin naik menjadi 0,52 poin. Ini bermakna bahwa jumlah penduduk miskin perkotaan yang terjerembab ke dasar kemiskinan semakin banyak demimian juga kesenjangan sesama penduduk miskin semakin melebar. peningkatan jumlah orang miskin di Sulteng akibat inflasi sangat dirasakan penduduk perkotaan.
“Memaknai kemiskinan tidak hanya dari persentasi saja tetapi yang terpenting adalah jumlah orang miskin. Persentase boleh turun jika jumlah penduduk bertambah, penurunan persentasi orang miskin akan bermakna inklusi jika dibarengi dengan berkurangnya jumlah orang miskin walaupun terjadi pertambahan jumlah penduduk. Sulteng saat ini butuh aksi nyata bukan ceremonial semata,” tutup Ahlis.
Reporter Irma