BUOL – Massa aksi dari Gerakan Masyarakat untuk Hak dan Keadilan Hukum (Germashakum) Buol, menilai kinerja pihak Kepolisian Resor (Polres) setempat tidak profesional dalam menangani permasalahan hukum terkait hak-hak dan keadilan masyarakat
Polres Buol sebagai salah satu lembaga pengayom masyarakat juga dianggap menyajikan kerja yang tidak “presisi” sebagaimana tagline dari Polri sendiri.
Kordinator Aksi, Rusdi Douw, mengungkapkan fakta-fakta sehingga pihaknya menilai kinerja Polres Buol tidak profesional.
“Ada fakta terkait penanganan kasus pengelolaan Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Pendidikan Tahun 2020 oleh Unit Tipidkor Polres Buol yang cenderung salah sasaran, tidak adil dan merugikan masyarakat, praktek mafia seakan akan dibiarkan dan tidak ditindaklanjuti,” ungkap Rusdi, Kamis (14/03).
Ia mengatakan, dalam penetapan tersangka yang diuji pada pada sidang praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Buol, telah terbukti secara hukum bahwa apa yang dilakukan tidak sah dan telah merampas hak-hak hukum dan kebebasan dari orang yang ditersangkakan.
“Padahal dalam kaidah hukum, lebih baik membebaskan orang bersalah daripada menghukum orang yang tidak bersalah. Bahkan dalam hal ini sangat terkesan terjadinya kriminalisasi. Hal ini tentu sangat menyakitkan hati keluarga masyarakat Kabupaten Buol,” ungkapnya.
Ia menambahkan, pasca dikabulkannya permohonan pemohon (Rusdi,S.Pd, M.Pd) oleh PN Buol yang membatalkan surat perintah penyidikan, maka harusnya status tersangka dari dua orang yang ditetapkan, adalah bebas demi hukum.
Sayangnya, kata dia, saat ini juga penyidik Tipidkor Polres Buol kembali melakukan penyidikan ulang dengan dalih bahwa dimungkinkan oleh Standar Operasional Prosedur (SOP) karena adanya bukti baru.
Menurutnya, salah satu upaya Polres Buol untuk mencari bukti baru yaitu dengan meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI untuk melakukan investigasi perhitungan kerugian negara yang kesekian kalinya.
“Padahal perhitungan kerugian negara telah dilakukan kali ketiga oleh Tim BPK, setelah sebelumnya BPK RI Perwakilan Sulawesi Tengah telah melakukan audit dengan tujuan khusu. Kemudian atas permintaan Kapolres Buol kepada Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pun telah melakukan audit perhitungan kerugian negara pada objek anggaran yang sama,” ujarnya.
Kata dia, hal ini menunjukkan adanya praktik abuse of power, tidak profesional dan Polres Buol hanya sekadar berekperimen atau coba-coba dalam penanganan hukum terhadap seseorang.
“Sehingga bisa ditarik kesimpulan bahwa Polres Buol bukan mengayomi masyarakat, tapi sebaliknya menyengsarakan masyarakat. Betapa tidak, akibat kesalahan dalam menersangkakan orang menyebabkan teror mental keluarga masyarakat Buol terutama keluarga besar Douw (ayah tersangka) dan keluarga besar Timumun (ibu tersangka),” katanya.
Alih-alih meminta maaf, kata dia, pihak kepolisian malah mengobrak abrik kinerja lembaga tinggi negara, BPK dan BPKP demi menutupi ketidakprofesionalan dan aib hukum serta gengsi.
Betapa tidak, lanjut dia, BPK RI Perwakilan Sulteng yang telah menerbitkan laporan hasil audit dan perhitungan kerugian negara dan sudah ditindaklanjuti oleh pihak-pihak terkait melalui mekanisme Tuntutan Perbendaharaan dan Ganti Rugi (TPTGR), malah diaudit kembali dan dilakukan perhitungan kerugian negara oleh BPK RI yang secara langsung mengabaikan kinerja BPK RI Perwakilan Sulteng.
“Pertanyaan mendasar, apakah protap dan kualifikasi auditor BPK Pusat berbeda dengan BPK Perwakilan Sulteng,” tanyanya.
Selanjutnya, kata dia, terkait dengan program One Man One Cow sebagai produk program yang menyisahkan pilu dari kepemimpinan Bupati Buol kala itu, di mana sapi yang terkesan diupaya paksakan kepada para ASN untuk dibeli secara kredit dari TPP PNS di beberapa OPD seperti Dikbud, para pejabat eselon 3, 4 dan staf sesuai jenjang jabatan.
Tapi ternyata, lanjut dia, kadis-nya saat itu sendiri tidak membeli karena ketidakjelasan sapi yang sudah dibayar lunas. Hal ini akhirnya masuk dalam aduan hukum yang ditangani oleh bagian pidana umum Polres Buol berdasarkan laporan pengaduan dengan Nomor: LP/20/III/2022/Sulteng/Res-Buol tanggal 29 Maret 2022.
“Lagi lagi pembiaran terhadap kasus pidana yang nyata-nyata korbannya adalah masyarakat, tidak ditindaklanjuti,” ungkapnya.
Menurutnya, pelapor telah meminta meminta Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) yang diterbitkan oleh Polres Buol dengan Nomor: SP2HP/26/III/2023/Satreskrim tanggal 03 Maret 2023 atau sudah berlalu kurang lebih setahun.
“Ini menunjukkan kinerja Polres Buol yang benar-benar tidak profesional dan tidak presisi serta tidak berpihak pada keadilan masyarakat. Kesan yang bahwa kasus penggelapan sapi, karena pelapornya dalam penyidikan kasus DAK pendidikan sehingga tidak perlu untuk ditindaklanjuti,” katanya.
Ia atas nama Gerakan Masyarakat untuk Hak dan Keadilan Hukum (Germashakum) Buol menuntut penghentian investigasi berulang-ulang dari Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) dalam hal ini BPK-RI serta penghentian penyidikan kembali kasus DAK 2020.
“Karena prosesnya tidak profesional dan melanggar hukum serta menyakiti hati keluarga (Douw/Timumun) sebagai bagian dari keluarga masyarakat Kabupaten Buol. Selain itu, kami menuntut tindaklanjut secara cepat dan akurat terkait laporan pengaduan sapi ASN Dikbud yang sudah berlarut-larut,” tegasnya.
Jika tidak ditindaklanjuti serius, maka pihaknya akan membawa kasus ini ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas-HAM) ataupun Komisi Kepolisian Nasional (kompolnas), dan Ombudsman. *